Pada kesempatan ini saya ingin menyuguhkan bagaimana pendapat para ulama' terdahulu dalam menyikapi perkembangan jaman sekarang ini dengan adanya keinginan wanita untuk berkarier di luar rumah.
Pertama: Kitab Bada-i' al-Shanai’
Karena terjadinya pernikahan, maka sesungguhnya istri itu ter-ihtibas (menahan tidak keluar rumah). Hal itu demi memenuhi hak suami, dan suami berhak melarangnya bekerja sebagai akibat pernikahan yang dilakukan. Manfaat pelarangan ini akan terpulang kepada suami juga. Dan suami dituntut untuk mencukupi segala kebutuhan istri. Oleh karena itu, keluarnya istri harus mendapat persetujuan suami seperti yang disabdakan Rasulullah saw.: "Keluar rumah harus dengan jaminan (persetujuan) suami." Oleh sebab itu, jika istri ditahan oleh hak suami agar ia tidak bekerja di luar rumah, tetapi suami tidak memenuhi nafkahnya, niscaya dia akan rusak.
Jadi, suami memberi nafkah kepada istri sebagai konsekuensi dari tindakan "penahanan" yang mencegahnya mencari harta sendiri. Maka apabila suami kehilangan ihtibas-nya, tidaklah ia berhak memberinya nafkah.
Kedua: Kitab Al-Mabsuth
1. Mengemukakan sebab kewajiban suami menafkahi istrinya: "Karena istri 'tertahan' oleh hak suami, dan memperuntukkan dirinya bagi suami, maka dia berhak memperoleh pencukupan dari harta suami. Sebagaimana amil zakat yang telah bekerja untuk orang-orang miskin, ia berhak memperoleh pencukupan dari harta mereka. Seorang qadhi (hakim) yang telah menyediakan dirinya untuk bekerja bagi kepentingan umat Islam berhak memperoleh pencukupan dari harta umat."
2. Selanjutnya kitab ini mengukuhkan hal tersebut dengan mengatakan bahwa sebab-sebab yang mewajibkan suami memberi nafkah kepada istrinya adalah "bukan karena akad", melainkan karena istri merelakan dirinya mengabdi kepada suami".
3. Hukum ini juga diulang sekali lagi karena sifatnya merupakan asas bagi keharusan memberi nafkah. Jika suami tidak mendapat peruntukan ihtibas ter¬sebut, ia tidak dikenai keharusan menafkahinya, dalam hal ini dinyatakan: "Satu hal yang dianggap kuat dalam kaitannya dengan adanya hak istri mcnerima nafkah dari suami ialah karena istri tersebut telah menyediakan dirinya untuk melaksanakan berbagai kemaslahatan suami." Wanita harus diberi nafkah karena ia menyerahkan dirinya untuk kemaslahatan suami. Apabila istri menolak hak tersebut, ia termasuk orang yang zalim, dan karena perbuatannya itu dia tidak berhak mendapat nafkah dari suaminya.
Ketiga: Kitab Al-Hidayah dan Syarah Fath al-Qadir
Dalam kedua kitab tersebut dikemukakan sebab-sebab nafkah suami-istri dan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar dia mendapat nafkah tersebut, yaitu sebagai berikut: pemberian nafkah suami kepada istri merupakan imbalan dari "penahanan". Setiap orang yang "tertahan" secara benar dengan maksud untuk orang lain, nafkahnya ada pada orang lain tersebut. Analoginya seperti juga seorang hakim dan amil dalam hal harta sedekah, mufti (pemberi fatwa), wali, dan al-mudharib (tentara) jika ia bepergian dengan harta tentara atau berperang untuk menghalau serangan musuh.
Keempat: Kitab Al-Fathawi al-Khaniyah
"Suami berhak melarang istrinya bekerja. Dan suami diperkenankan memukul istrinya dalam empat perkara….. yang keempatnya adalah karena istri keluar rumah tanpa izin suami setelah dia menarik mahar."
"Mereka berkata, wanita hanya boleh keluar rumah tanpa seizin suami oleh beberapa sebab dan dalam kondisi yang sangat mendesak seperti apabila ia berada dalam rumah yang ditakutkan akan roboh menjatuhinya; pergi ke majelis ilmu jika di sana ada pengajian penting, sedangkan suami tak mau mengerti; pergi haji dengan muhrimnya; keluar untuk mengunjungi kedua orang tua, menengok ketika mereka meninggal, serta menjenguk ketika mereka sakit; dan mengunjungi muhrimnya. Suami boleh mengizinkannya keluar rumah dan dia tidak menyalahgunakannya untuk berbuat maksiat."
Kelima: Kitab Al-Bahr al-Raiq, Syarh Kant al-Daqaiq, oleh Ibnu Najim
Dalam ungkapan di atas dikemukakan bahwa "wanita yang membangkang tak wajib dinafkahi".
Disebutkan pula dalam kitab Al-Mujtabi bahwa apabila istri menyerahkan dirinya hanya pada waktu siang. sedangkan malam tidak, atau sebaliknya, maka dia tidak berhak mendapat nafkah karena "penyerahan"-nya kurang. Saya katakan: dengan ini diketahui jawaban terhadap kenyataan pada zaman ini ketika pria menikahi wanita-wanita karier yang waktu siangnya di kantornya, dan pada malamnya berkumpul dengan suaminya, maka tak perlu suami memberi nafkah kepada istrinya.
Selanjutnya disebutkan: "Dia berkata sambil menyinggung tentang formalisme (azh-Zhahiriyah), pria boleh mengizinkan istrinya mengunjungi kedua orang tuanya, melawatnya (saat kematiannya), dan menjenguknya sewaktu sakit, dan mengunjungi muhrim-muhrimnya". Ringkasnya, pembicaraan ini sampai kepada sederet kebolehan di mana suami diperkenankan mengizinkan istrinya keluar untuk tujuh tujuan: mengunjungi kedua orang tua, melawat ketika sakit, ber-takziyah kepada kedua-duanya, dan (salah satunya) menengok muhrim-muhrimnya untuk merawat atau memandikannya, atau karena keperluan-keperluan lain yang mem-benarkannya keluar dengan atau tanpa izin. Haji pun demikian.
Begitulah dinyatakan dalam kitab Al-Khaniyah, dan ditambahkan pula bahwa istri boleh keluar apabila dia berada dalam rumah yang dikhawatirkan runtuh dan menimpanya. Haji pun dibatasi pada haji yang pertama (karena merupakan fardhu) dengan disertai oleh muhrim. Keluar untuk merawat dan memandikan muhrimnya, bila keluarnya mengandung unsur bahaya, maka ia tertahan oleh hak suami, dan haknya untuk mengunjungi muhrimnya adalah fardhu kifayah.
Ditambahkan dalam ucapannya: "Mereka mengatakan, di sini suami harus mencegah istrinya bekerja mencari nafkah, dan istri boleh memperbanyak salat sunat dan puasanya dengan izin suami; begitulah aliran formalisme (azh-Zhahiriyah). Hendaknya tak ada waktu khusus buat bekerja, lebih dari itu ia harus melarangnya dari semua pekerjaan yang bersifat menutupi kebutuhan hidup karena ia sudah dicukupi oleh suami sebagai pelaksanaan kewajibannya memenuhi kebutuhan istri. Begitu pula dia tidak bebas mengerjakan berbagai macam aktivitas luar, lebih-lebih kerja bakti buat orang lain."
Keenam: Kitab Rod al-Mukhtar, ala ad-Dur al-Mukhtar ala matan tanwir al-Abshar, oleh syaikh Muhammad Amin, terkenal dengan sebutan Ibnu Abidin
1. Pengarang Ad-Dur mengatakan, “Tidak ada nafkah bagi wanita yang keluar rumah secara tidak benar, dan dia dianggap berbuat nusyuz (meninggalkan kewajiban sebagai istri) sampai dia pulang ke rumah kendatipun ketika ia pergi, suami telah lebih dahulu berangkat. "Dan dia berkata tentang istri yang berkarier, "Sekalipun ia menyerahkan dirinya kepada suami pada malam hari, ia tidak berhak mendapat nafkah dari suaminya karena penyerahannya dianggap kurang." Dalam hal ini kitab Al-Mujtabi pun mengatakan, dan ini merupakan jawaban terhadap realitas zaman kita, bahwa jika seorang pria mengawini seorang wanita karier yang sekiranya siang harinya bekerja dan malam harinya untuk suaminya, istrinya itu tidak berhak mendapat nafkah.”
Selanjutnya dikutip dalam kitab Al-Bahr bahwa suami berhak melarang istrinya bekerja, apalagi yang bersifat sunat seperti merawat atau memandikan jenazah karena hak suami harus didahulukan daripada fardhu kifayah. Begitu pula mencari yang bersifat ilmu sekalipun istri meminta izin suaminya, tetapi permintaannya itu ditolak. Ibnu Abidin mengutip dari kitab Al-Bahr. “Tindakan yang dianggap sah dalam mencabut nafkah istri adalah hilangnya 'penahanan' bukan dari pihak suami. Dia menyebutkan bahwa wanita yang 'tertahan' secara teraniaya, yang dimarahi, dan melakukan haji wajib dengan muhrimnya, bila ia keluar rumah tanpa izin suaminya maka bisa dimaklumi, dan bentuk permaklumannya adalah bahwa nafkahnya tak dapat dicabut. Berdasarkan prinsip ini, dalam kitab Al-Hindiyah, bab budak (al-amah), dia berkata bahwa apabila sang tuan (as-sayyid) menyerahkan budak itu kepada suaminya pada malam hari saja, maka tuannya harus memberikan nafkah untuk siang hari, dan suami hanya menafkahinya pada malam hari. Demikian pula analoginya di sini.” Maksudnya adalah apabila ada orang lain yang keadaannya sama dengan para istri tersebut, lantaran mereka beralasan dengan lenyapnya ihtibas mereka untuk kebaikan dan kewajiban suami-istri mereka, maka para suami tidak perlu menafkahi istri-istri mereka. Analoginya adalah bahwa suami tidak berhak memberi nafkah kepada istri karier saja tanpa izin suami-suami mereka.
Untuk mengukuhkan hal tersebut dia berkata, mengutip dari kitab Al-Bahr, bahwa suami berhak mencegah istrinya dari pekerjaan dan seluruh perbuatan sekalipun merawat dan memandikan jenazah. Selanjutnya ia mengatakan, “Seharusnya ia tidak mencari pekerjaan, bahkan suami seharusnya mencegah istrinya dari seluruh pekerjaan yang bersifat mencari penghidupan karena ia sudah dicukupi dengan pemenuhan harta yang ditanggung oleh suaminya. Begitu pula hal-hal yang lebih bersifat sunat bagi orang lain.”
Dalam mengomentari hal ini dia berkata, “Anda lebih tahu jika suami melarang istrinya dari pekerjaan tersebut, lalu ia melanggar larangan tersebut dan keluar dari rumahnya tanpa izin suaminya, dianggaplah ia nusyuz selama ia berada di luar rumah. Akan tetapi, jika suami tidak melarangnya, ia tidak dianggap nusyuz.”
Dinukil dari kaum Zhahiriah dalam Al-Bahr, “Tanpa seizin suami tidak boleh melakukan salat sunat, maksudnya adalah tahajjud karena salat malam hari akan menghalangi hak suami dan akan mengurangi kecantikannya lantaran begadang dan letih. Sedangkan kecantikannya juga merupakan haknya sebagaimana yang telah berjalan.”
Selanjutnya Ibnu Abidin mengatakan, “Sebenarnya pendapat mereka yang menyatakan bahwa suami berhak melarangnya mencari pekerjaan meliputi juga pencarian pekerjaan untuk dirinya. Jika ‘illat (alasan) pelarangan pekerjaan itu ialah tidak tidur dan keletihan yang akan mengurangi kecantikannya, maka suami boleh melarangnya pada hal-hal yang menyebabkan munculnya alasan yang serupa. Dan jika 'illat-nya adalah tidak butuhnya istri akan pekerjaan seperti dikemukakan terdahulu, maka dalam kondisi ini ia membutuhkan barang-barang yang tidak selayaknya diberikan oleh suami.” Kemudian ia berkata, “Yang harus ditegaskan adalah bahwa suami berhak melarang istrinya bekerja apa pun yang menyebabkan berkurangnya hak dia, atau yang membahayakannya, atau si istri keluar dari rumahnya. Adapun bagi pekerjaan yang tidak mengandung unsur yang membahayakan, tidak ada alasan untuk melarangnya bekerja, lebih-lebih bila suami tidak berada di rumah.”
Dari nash-nash ini jelaslah bahwa suami mempunyai hak penuh untuk melarang istrinya bekerja karena yang namanya bekerja itu setidak-tidaknya dapat menyebabkan tiga hal:
1) mengurangi hak suami,
2) mengancam keselamatan, dan
3) keluarnya istri dari rumah suami.
Dengan demikian, ungkapan “Adapun bagi pekerjaan yang tidak membahayakan, tak ada alasan untuk melarangnya, lebih-lebih bila suami tidak berada di rumah”, sebagaimana telah disebutkan oleh Ibnu Abidin sebelumnya, harus diarahkan kepada pekerjaan yang ada di rumah, dengan syarat pekerjaan macam ini pun tidak mengurangi hak suami atau membahayakannya, atau untuk kebaikan suami.
Pekerjaan jenis kedua adalah yang menyebabkan istri keluar dari rumah. Suami mempunyai hak penuh untuk melarangnya demi menghindari bahaya yang akan menimpanya karena keluarnya itu otomatis akan mengakibatkan berkurangnya hak suami yang berkenaan dengan "penahanan"-nya untuk memenuhi kewajiban-kewajiban terhadapnya dan untuk kebaikannya.
Ketujuh: Kitab Al-Ahkam asy-Syar'iyyah fii al-Ahwal asy-Syakhsiyyah
Butir 169 dari kitab ini mengemukakan bahwa “istri karier yang keluar rumah pada siang hari, dan hanya berkumpul dengan suami pada malam hari, kemudian suami melarangnya untuk keluar rumah, tetapi dia melanggar larangan tersebut dan tetap keluar, maka dia tidak berhak mendapat nafkah dari suami selama ia tetap keluar”.
Pertama: Kitab Bada-i' al-Shanai’
Karena terjadinya pernikahan, maka sesungguhnya istri itu ter-ihtibas (menahan tidak keluar rumah). Hal itu demi memenuhi hak suami, dan suami berhak melarangnya bekerja sebagai akibat pernikahan yang dilakukan. Manfaat pelarangan ini akan terpulang kepada suami juga. Dan suami dituntut untuk mencukupi segala kebutuhan istri. Oleh karena itu, keluarnya istri harus mendapat persetujuan suami seperti yang disabdakan Rasulullah saw.: "Keluar rumah harus dengan jaminan (persetujuan) suami." Oleh sebab itu, jika istri ditahan oleh hak suami agar ia tidak bekerja di luar rumah, tetapi suami tidak memenuhi nafkahnya, niscaya dia akan rusak.
Jadi, suami memberi nafkah kepada istri sebagai konsekuensi dari tindakan "penahanan" yang mencegahnya mencari harta sendiri. Maka apabila suami kehilangan ihtibas-nya, tidaklah ia berhak memberinya nafkah.
Kedua: Kitab Al-Mabsuth
1. Mengemukakan sebab kewajiban suami menafkahi istrinya: "Karena istri 'tertahan' oleh hak suami, dan memperuntukkan dirinya bagi suami, maka dia berhak memperoleh pencukupan dari harta suami. Sebagaimana amil zakat yang telah bekerja untuk orang-orang miskin, ia berhak memperoleh pencukupan dari harta mereka. Seorang qadhi (hakim) yang telah menyediakan dirinya untuk bekerja bagi kepentingan umat Islam berhak memperoleh pencukupan dari harta umat."
2. Selanjutnya kitab ini mengukuhkan hal tersebut dengan mengatakan bahwa sebab-sebab yang mewajibkan suami memberi nafkah kepada istrinya adalah "bukan karena akad", melainkan karena istri merelakan dirinya mengabdi kepada suami".
3. Hukum ini juga diulang sekali lagi karena sifatnya merupakan asas bagi keharusan memberi nafkah. Jika suami tidak mendapat peruntukan ihtibas ter¬sebut, ia tidak dikenai keharusan menafkahinya, dalam hal ini dinyatakan: "Satu hal yang dianggap kuat dalam kaitannya dengan adanya hak istri mcnerima nafkah dari suami ialah karena istri tersebut telah menyediakan dirinya untuk melaksanakan berbagai kemaslahatan suami." Wanita harus diberi nafkah karena ia menyerahkan dirinya untuk kemaslahatan suami. Apabila istri menolak hak tersebut, ia termasuk orang yang zalim, dan karena perbuatannya itu dia tidak berhak mendapat nafkah dari suaminya.
Ketiga: Kitab Al-Hidayah dan Syarah Fath al-Qadir
Dalam kedua kitab tersebut dikemukakan sebab-sebab nafkah suami-istri dan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar dia mendapat nafkah tersebut, yaitu sebagai berikut: pemberian nafkah suami kepada istri merupakan imbalan dari "penahanan". Setiap orang yang "tertahan" secara benar dengan maksud untuk orang lain, nafkahnya ada pada orang lain tersebut. Analoginya seperti juga seorang hakim dan amil dalam hal harta sedekah, mufti (pemberi fatwa), wali, dan al-mudharib (tentara) jika ia bepergian dengan harta tentara atau berperang untuk menghalau serangan musuh.
Keempat: Kitab Al-Fathawi al-Khaniyah
"Suami berhak melarang istrinya bekerja. Dan suami diperkenankan memukul istrinya dalam empat perkara….. yang keempatnya adalah karena istri keluar rumah tanpa izin suami setelah dia menarik mahar."
"Mereka berkata, wanita hanya boleh keluar rumah tanpa seizin suami oleh beberapa sebab dan dalam kondisi yang sangat mendesak seperti apabila ia berada dalam rumah yang ditakutkan akan roboh menjatuhinya; pergi ke majelis ilmu jika di sana ada pengajian penting, sedangkan suami tak mau mengerti; pergi haji dengan muhrimnya; keluar untuk mengunjungi kedua orang tua, menengok ketika mereka meninggal, serta menjenguk ketika mereka sakit; dan mengunjungi muhrimnya. Suami boleh mengizinkannya keluar rumah dan dia tidak menyalahgunakannya untuk berbuat maksiat."
Kelima: Kitab Al-Bahr al-Raiq, Syarh Kant al-Daqaiq, oleh Ibnu Najim
Dalam ungkapan di atas dikemukakan bahwa "wanita yang membangkang tak wajib dinafkahi".
Disebutkan pula dalam kitab Al-Mujtabi bahwa apabila istri menyerahkan dirinya hanya pada waktu siang. sedangkan malam tidak, atau sebaliknya, maka dia tidak berhak mendapat nafkah karena "penyerahan"-nya kurang. Saya katakan: dengan ini diketahui jawaban terhadap kenyataan pada zaman ini ketika pria menikahi wanita-wanita karier yang waktu siangnya di kantornya, dan pada malamnya berkumpul dengan suaminya, maka tak perlu suami memberi nafkah kepada istrinya.
Selanjutnya disebutkan: "Dia berkata sambil menyinggung tentang formalisme (azh-Zhahiriyah), pria boleh mengizinkan istrinya mengunjungi kedua orang tuanya, melawatnya (saat kematiannya), dan menjenguknya sewaktu sakit, dan mengunjungi muhrim-muhrimnya". Ringkasnya, pembicaraan ini sampai kepada sederet kebolehan di mana suami diperkenankan mengizinkan istrinya keluar untuk tujuh tujuan: mengunjungi kedua orang tua, melawat ketika sakit, ber-takziyah kepada kedua-duanya, dan (salah satunya) menengok muhrim-muhrimnya untuk merawat atau memandikannya, atau karena keperluan-keperluan lain yang mem-benarkannya keluar dengan atau tanpa izin. Haji pun demikian.
Begitulah dinyatakan dalam kitab Al-Khaniyah, dan ditambahkan pula bahwa istri boleh keluar apabila dia berada dalam rumah yang dikhawatirkan runtuh dan menimpanya. Haji pun dibatasi pada haji yang pertama (karena merupakan fardhu) dengan disertai oleh muhrim. Keluar untuk merawat dan memandikan muhrimnya, bila keluarnya mengandung unsur bahaya, maka ia tertahan oleh hak suami, dan haknya untuk mengunjungi muhrimnya adalah fardhu kifayah.
Ditambahkan dalam ucapannya: "Mereka mengatakan, di sini suami harus mencegah istrinya bekerja mencari nafkah, dan istri boleh memperbanyak salat sunat dan puasanya dengan izin suami; begitulah aliran formalisme (azh-Zhahiriyah). Hendaknya tak ada waktu khusus buat bekerja, lebih dari itu ia harus melarangnya dari semua pekerjaan yang bersifat menutupi kebutuhan hidup karena ia sudah dicukupi oleh suami sebagai pelaksanaan kewajibannya memenuhi kebutuhan istri. Begitu pula dia tidak bebas mengerjakan berbagai macam aktivitas luar, lebih-lebih kerja bakti buat orang lain."
Keenam: Kitab Rod al-Mukhtar, ala ad-Dur al-Mukhtar ala matan tanwir al-Abshar, oleh syaikh Muhammad Amin, terkenal dengan sebutan Ibnu Abidin
1. Pengarang Ad-Dur mengatakan, “Tidak ada nafkah bagi wanita yang keluar rumah secara tidak benar, dan dia dianggap berbuat nusyuz (meninggalkan kewajiban sebagai istri) sampai dia pulang ke rumah kendatipun ketika ia pergi, suami telah lebih dahulu berangkat. "Dan dia berkata tentang istri yang berkarier, "Sekalipun ia menyerahkan dirinya kepada suami pada malam hari, ia tidak berhak mendapat nafkah dari suaminya karena penyerahannya dianggap kurang." Dalam hal ini kitab Al-Mujtabi pun mengatakan, dan ini merupakan jawaban terhadap realitas zaman kita, bahwa jika seorang pria mengawini seorang wanita karier yang sekiranya siang harinya bekerja dan malam harinya untuk suaminya, istrinya itu tidak berhak mendapat nafkah.”
Selanjutnya dikutip dalam kitab Al-Bahr bahwa suami berhak melarang istrinya bekerja, apalagi yang bersifat sunat seperti merawat atau memandikan jenazah karena hak suami harus didahulukan daripada fardhu kifayah. Begitu pula mencari yang bersifat ilmu sekalipun istri meminta izin suaminya, tetapi permintaannya itu ditolak. Ibnu Abidin mengutip dari kitab Al-Bahr. “Tindakan yang dianggap sah dalam mencabut nafkah istri adalah hilangnya 'penahanan' bukan dari pihak suami. Dia menyebutkan bahwa wanita yang 'tertahan' secara teraniaya, yang dimarahi, dan melakukan haji wajib dengan muhrimnya, bila ia keluar rumah tanpa izin suaminya maka bisa dimaklumi, dan bentuk permaklumannya adalah bahwa nafkahnya tak dapat dicabut. Berdasarkan prinsip ini, dalam kitab Al-Hindiyah, bab budak (al-amah), dia berkata bahwa apabila sang tuan (as-sayyid) menyerahkan budak itu kepada suaminya pada malam hari saja, maka tuannya harus memberikan nafkah untuk siang hari, dan suami hanya menafkahinya pada malam hari. Demikian pula analoginya di sini.” Maksudnya adalah apabila ada orang lain yang keadaannya sama dengan para istri tersebut, lantaran mereka beralasan dengan lenyapnya ihtibas mereka untuk kebaikan dan kewajiban suami-istri mereka, maka para suami tidak perlu menafkahi istri-istri mereka. Analoginya adalah bahwa suami tidak berhak memberi nafkah kepada istri karier saja tanpa izin suami-suami mereka.
Untuk mengukuhkan hal tersebut dia berkata, mengutip dari kitab Al-Bahr, bahwa suami berhak mencegah istrinya dari pekerjaan dan seluruh perbuatan sekalipun merawat dan memandikan jenazah. Selanjutnya ia mengatakan, “Seharusnya ia tidak mencari pekerjaan, bahkan suami seharusnya mencegah istrinya dari seluruh pekerjaan yang bersifat mencari penghidupan karena ia sudah dicukupi dengan pemenuhan harta yang ditanggung oleh suaminya. Begitu pula hal-hal yang lebih bersifat sunat bagi orang lain.”
Dalam mengomentari hal ini dia berkata, “Anda lebih tahu jika suami melarang istrinya dari pekerjaan tersebut, lalu ia melanggar larangan tersebut dan keluar dari rumahnya tanpa izin suaminya, dianggaplah ia nusyuz selama ia berada di luar rumah. Akan tetapi, jika suami tidak melarangnya, ia tidak dianggap nusyuz.”
Dinukil dari kaum Zhahiriah dalam Al-Bahr, “Tanpa seizin suami tidak boleh melakukan salat sunat, maksudnya adalah tahajjud karena salat malam hari akan menghalangi hak suami dan akan mengurangi kecantikannya lantaran begadang dan letih. Sedangkan kecantikannya juga merupakan haknya sebagaimana yang telah berjalan.”
Selanjutnya Ibnu Abidin mengatakan, “Sebenarnya pendapat mereka yang menyatakan bahwa suami berhak melarangnya mencari pekerjaan meliputi juga pencarian pekerjaan untuk dirinya. Jika ‘illat (alasan) pelarangan pekerjaan itu ialah tidak tidur dan keletihan yang akan mengurangi kecantikannya, maka suami boleh melarangnya pada hal-hal yang menyebabkan munculnya alasan yang serupa. Dan jika 'illat-nya adalah tidak butuhnya istri akan pekerjaan seperti dikemukakan terdahulu, maka dalam kondisi ini ia membutuhkan barang-barang yang tidak selayaknya diberikan oleh suami.” Kemudian ia berkata, “Yang harus ditegaskan adalah bahwa suami berhak melarang istrinya bekerja apa pun yang menyebabkan berkurangnya hak dia, atau yang membahayakannya, atau si istri keluar dari rumahnya. Adapun bagi pekerjaan yang tidak mengandung unsur yang membahayakan, tidak ada alasan untuk melarangnya bekerja, lebih-lebih bila suami tidak berada di rumah.”
Dari nash-nash ini jelaslah bahwa suami mempunyai hak penuh untuk melarang istrinya bekerja karena yang namanya bekerja itu setidak-tidaknya dapat menyebabkan tiga hal:
1) mengurangi hak suami,
2) mengancam keselamatan, dan
3) keluarnya istri dari rumah suami.
Dengan demikian, ungkapan “Adapun bagi pekerjaan yang tidak membahayakan, tak ada alasan untuk melarangnya, lebih-lebih bila suami tidak berada di rumah”, sebagaimana telah disebutkan oleh Ibnu Abidin sebelumnya, harus diarahkan kepada pekerjaan yang ada di rumah, dengan syarat pekerjaan macam ini pun tidak mengurangi hak suami atau membahayakannya, atau untuk kebaikan suami.
Pekerjaan jenis kedua adalah yang menyebabkan istri keluar dari rumah. Suami mempunyai hak penuh untuk melarangnya demi menghindari bahaya yang akan menimpanya karena keluarnya itu otomatis akan mengakibatkan berkurangnya hak suami yang berkenaan dengan "penahanan"-nya untuk memenuhi kewajiban-kewajiban terhadapnya dan untuk kebaikannya.
Ketujuh: Kitab Al-Ahkam asy-Syar'iyyah fii al-Ahwal asy-Syakhsiyyah
Butir 169 dari kitab ini mengemukakan bahwa “istri karier yang keluar rumah pada siang hari, dan hanya berkumpul dengan suami pada malam hari, kemudian suami melarangnya untuk keluar rumah, tetapi dia melanggar larangan tersebut dan tetap keluar, maka dia tidak berhak mendapat nafkah dari suami selama ia tetap keluar”.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Ajukan Pertanyaan atau Tanggapan Anda, Insya Allah Segera Kami Balas