Doa dan harap kita kepada Allah swt, semoga kita selalu diberikan  curahan rahmat dan inayah-Nya serta kesabaran dalam menapaki jalan  dakwah yang begitu panjang dan penuh dengan berbagai rintangan dan  hambatan, hanya ridha-Nya yang senantiasa kita harapkan selama kita juga  ridha dengan kewajiban dakwah ini, tulus ikhlas dalam menjalankannya,  senang terhadap tugas-tugas yang kita emban.
Allah  memberikan kepercayaan kepada kita untuk meneruskan risalah para nabi,  khususnya misi dan ajaran Nabi Muhammad saw. Suatu penghargaan besar  dari Allah swt yang telah mentakdirkan kita menjadi hamba-hamba-Nya yang  dapat berhimpun dalam gerakan dakwah; sebab jika kita hormati  penghargaan Ilahi ini, kita respon positif amanat tersebut, insya Allah,  hasil dan dampaknya tak akan sia-sia, kemuliaan dunia akhirat akan  diberikan sesuai dengan janji Allah swt :
Sesungguhnya yang  berikrar Robb kami adalah Allah, kemudian beristiqamah, niscaya para  Malaikat turun (membawa berita), jangan kalian merasa takut dan sedih,  bergembiralah dengan syurga yang dijanjikan. Kami adalah pelindung  kalian dalam kehidupan dunia dan di akhirat kelak, di sana bagi kalian  apa yang diinginkan dan yang diminta. Yang diturunkan dari Yang Maha  Pengampun dan Maha Penyayang. Siapakah yang lebih baik perkataannya dari  orang yang berdakwah ke jalan Allah dan beramal shalih serta berkata  sesungguhnya aku termasuk orang-orang muslim (Q.S. Fushilat:30-33)
Penghargaan  Allah terhadap kita tersebut bukan untuk dibanggakan, lalu merasa  tinggi hati, apalagi ujub –na’udzubillah min dzalik- terhadap diri dan  menyombongkan diri dengan meremehkan orang lain. semua itu perbuatan  terlarang, bahkan tidak pantas rasanya seorang yang diberikan kemuliaan  sebagai dai melakukan sikap dan perbuatan itu.
Lebih dari  pada itu, sikap dan perilaku sombong, serta merasa tinggi hati  mengakibatkan kerusakan struktur hubungan antara sesama. Bayangkan! Jika  manusia saling merendahkan dan meremehkan yang satu dengan yang  lainnya. Tidak saling hormat, tidak ada kewibawaan, tidak ada trust  (saling tsiqah), tidak ada etika, tidak menghormati tata susila, apa  jadinya kehidupan ini jika itu yang terjadi?
Apa gerangan yang  membuat seseorang menjadi sombong, merasa tinggi, merasa lebih hebat  dari orang lain??? Ilmu yang dimilikinya? Tidak ada yang harus  dibanggakan dari ilmu yang kita miliki. Ilmu itu pada hakikatnya milik  Allah, Dia mengajarkan kepada kita sedikit dari ilmu-Nya, maka justru  ilmu itulah yang seharusnya memberikan rasa takut kepada Allah :“Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah dari hamba-hamba-Nya adalah para ulama”. (Fathir : 28)
Atau  seseorang bangga dan merasa tinggi hati karena amal-amal dan aktivitas  ibadahnya yang begitu banyaknya??? Bukankah seharusnya semakin tinggi  keimanan seseorang dan ketaqwaannya, semakin ia merendahkan hatinya,  baik ke hadirat Allah swt, maupun kepada manusia (Adzillatin ‘alal  Mu’minin a’izzatin ‘alal kafirin), rendah hati di hadapan orang beriman  dan tegas di hadapan orang kafir. Nabi Muhammad saw saja sebagai khoiru  khalqillah (sebaik-baik makhluk Allah) dan orang yang paling taqwa dari  umatnya, masih dipesankan Allah swt dalam firman-Nya:
“Rendahkanlah hatimu kepada pengikutmu orang-orang mukminin (QS asy-Syu’ara: 215).
Bahkan  merasa lebih banyak amalnya, lebih tinggi kedudukannya di dalam  aktivitas dakwah karena merasa lebih dulu aktif dan lebih senior, akan  membuat dirinya lebih hina dan lebih buruk dalam pandangan Allah swt.  Simaklah pesan-pesan teladan kita Nabi Muhammad saw:
“Jika kamu mendengar seseorang berkata “ semua orang rusak” , maka dialah orang yang paling rusak” (HR Muslim)
“Cukuplah keburukan seseorang, karena ia menghina saudaranya sesama muslim.” (HR Muslim).
Atau ada seseorang yang sombong hanya lantaran keturunan dan keluarga besarnya? La haula wala quwwata illa Billah. 
Renungkan  kisah Nabi Muhammad tentang 2 orang yang bertikai lantaran saling  berbangga dengan kehormatan keluarga besar dan keturunannya. Yang satu  berkata kepada kawannya, ” Tahukah kamu siapa aku, aku ini adalah anak  keturunan si Fulan, sedangkan kamu seorang anak yang tak punya ibu!”  Lalu Nabi mengingatkan seraya bersabda; ” Ada 2 orang yang saling  berbangga dengan keturunannya di hadapan Nabi Musa a.s. Salah seorang  mereka berkata; “Aku adalah anak keturunan si Fulan bin Fulan ”, ia  sebutkan sampai 9 keturunan. Kemudian Allah mewahyukan kepada Nabi Musa,  “ Katakanlah wahai Musa kepada orang yang berbangga tersebut, 9  keturunanmu itu adalah ahli neraka dan engkau yang kesepuluhnya.”  (Riwayat Abdullah bin Ahmad dalam Zawaid al-Musnad dengan sanad yang  sahih, dan Imam meriwayatkannya mauquf pada Muadz dengan kisah Musa  saja).
Nabi Muhammad saw juga mengingatkan dalam sebuah hadits,
“Seorang  yang berbangga dengan keturunannya, sungguh ia menjadi arang api  neraka, atau lebih rendah dari hewan yang bermain-main di kotoran sampah” (HR Abu Daud dan Tirmidzi, beliau meng-hasan-kan hadits ini).
Salah  satu fikrah dakwah kita adalah “Salafiyah” yang menuntut kita untuk  meneladani pendahulu kita yang shalih dalam sifat rendah hati mereka.  Tidak ada yang merasa lebih hebat betapapun tinggi ilmu yang mereka  miliki. Mereka tidak merasa lebih senior betapapun mereka lebih dahulu  berbuat dan aktivitas jihad mereka lebih banyak.
Kepemimpinan  Nabi Muhammad saw. memberikan keteladanan kepada umatnya dalam sikap  tawadhu’, sebagaimana berita yang diriwayatkan Anas bin Malik, ia  berkata,
“Meskipun (kita tahu) bahwa para sahabat adalah orang  yang paling cinta kepada Rasulullah, namun mereka tidak pernah berdiri  menyambut kedatangan Rasulullah saw, karena mereka tahu bahwa hal itu  tidak disenangi Nabi saw” (HR Tirmidzi, hadits hasan).
Aduhai…  siapa yang tidak mengenal Abdur-Rahman bin Auf yang sangat disegani di  kalangan kaumnya. Namun kepiawaian dan kesenioran beliau tidak membuat  dirinya tinggi hati sampai kepada pelayannya sekalipun, hal itu  dikisahkan oleh sahabat Abu Darda’, “…..Abdur-Rahman bin Auf sulit  dibedakan dengan pelayannya, karena tidak nampak perbedaan mereka dalam  bentuk lahiriyahnya” .
Duduk sama rendah berdiri sama tinggi, kira-kira peribahasa itulah yang digunakan.
Demikian  pula kehebatan Imam Hasan Basri dalam ilmu agama tidak memperdayakan  dirinya menjadi seorang yang ‘sok’ atau merasa lebih hebat di hadapan  teman-temannya. Suatu saat Hasan Basri berjalan dengan beberapa orang,  orang-orang itu berjalan pada posisi di belakang Hasan Basri, maka Hasan  Bashri pun mencegah mereka (melakukan itu), seraya berkata, “Tidak  benar hal ini dilakukan setiap hamba Allah?” .
Sosok  tabi’in seperti Abu Sofyan ats-Tsauri ternyata juga benar-benar teruji  sifat tawadhunya. Saat beliau berkunjung ke Ramallah (di Palestina),  Ibrahim bin Ad-ham mengutus seseorang kepada Sofyan untuk meminta agar  ia datang bersinggah ke rumahnya, seraya berkata, “ Wahai Sofyan  kemarilah untuk berbincang-bincang” . Sofyan pun mendatangi Adham.  Ketika Adham ditegur seseorang “Mengapa kamu berbuat demikian”. Adham  menjawab “Saya ingin menguji ke-tawadhu’- annya”.
Demikian  pula jabatan dan kedudukan tidak layak dijadikan alasan untuk berbangga  diri apalagi membusungkan dada “akulah orang besar”.
Dalam sebuah  riwayat dikisahkan, bahwa Umar bin Abdul Aziz ra kedatangan seorang  tamu saat ia sedang menulis, saat lampu padam karena terjatuh, sang tamu  pun berkata: Biarkan aku ambil lampu itu untuk aku perbaiki! Umar Sang  Khalifah berkata: Tidak mulia seseorang yang menjadikan tamunya sebagai  pelayan. Tamu itu berkata lagi, “Atau saya minta bantuan anak-anak”.  Umar Amirul Mukminin berkata: Mereka baru saja tidur (jangan ganggu  mereka)”. Kemudian Sang Khalifah pun beranjak dari tempat duduknya untuk  mengambil lampu itu dan memperbaikinya sendiri. Tamu itu terheran-heran  seraya berseru, “Wahai Amiril Mukminin, engkau melakukannya itu  sendiri? Amiril Mukminin berkata, “Saat saya pergi saya adalah Umar,  saat saya kembali pun saya adalah Umar, tidak kurang sedikit pun dari  saya sebagai Umar. Sebaik-baik manusia adalah yang tawadhu di sisi Allah  swt”. Subhanallah……
Orang-orang yang berhimpun dalam  mahabbah dan keridhaan Allah sejatinya mengenyahkan sifat sombong,  ‘sok’, senioritas apalagi figuritas. Hiasilah diri Antum dengan  tawadhu’, rendah hati, selalu merasa memerlukan tambahan ilmu,  pengalaman dan merasa saling butuh dengan sesama ikhwah lainnya.
Sebagai akhir mari kita renungkan Firman Allah dalam Q.S. Aِِl-Isra: 37-38
“Dan  janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena  sesungguhnya kamu sekalikali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali  kamu tidak akan sampai setinggi gunung. Semua itu kejahatannya amat  dibenci di sisi Tuhanmu (Q.S. Aِِl-Isra: 37-38).







 
I Like It...
BalasHapussemoga kita terhindar dai sifat2 buruk tersebut
amin.