Sabtu, 09 Juli 2011

Tak terhitung entah berapa banyak doktrin agama yang memerintahkan kita agar senantiasa menjaga lidah. Tentu, bukan karena bahaya lidah itu sendiri. Melainkan, karena aktivitas yang dilakukan lidah. Tak terkecuali juga dua kebutuhan mendasar sekaligus terpenting bagi seorang manusia terhadap lisan, makan dan minum.

Namun, besarnya manfaat lidah, besar pula bahayanya. Bukan hanya ketika berbicara saja, saat diam pun lidah masih bisa menimbulkan dosa. Dahsyat bukan? Saat lidah berbicara batil dan keji, saat itu pulalah dosa mengalir kepada pemilik lidah.

Bila diperhatikan, perkataan yang diucapkan lidah, tak terlepas dari empat hal, yakni seluruhnya mengandung mudharat, seluruhnya mengandung manfaat, seluruhnya mengandung manfaat dan mudharat, dan sama sekali tidak mengandung manfaat maupun mudharat. Tentu saja, yang ideal dan diharapkan yang seluruhnya mengandung manfaat. Tapi namanya lidah tak bertulang, sudah barang tentu manusia berpotensi besar untuk melakukan khilaf (al-Insan mahal al-khata' wa al-Nis-yan).

Betapa banyak orang yang tergelincir sekaligus dirugikan akibat perbuatan dusta. Di samping merugikan dirinya, juga merugikan orang lain. Diam juga bisa mengandung kebatilan, sekalipun diam itu, katanya, emas. Kapan? ketika diam dengan sengaja melihat kemungkaran, tanpa ada hasrat untuk menegurnya. Jadi, bicara dan diam sama-sama bersinergi untuk dosa, jika tidak pintar-pintar mengatur lidah.

Di era media informasi dan globalisasi, banyak sekali orang menganggap sepele masalah lidah, mulai dari ringan menggosip, gemar menggunjing, dan bahkan terbiasa memfitnah orang lain. Semuanya dilakukan tanpa ada perasaan risih dan malu. Cuek, itulah kata mereka. Bukti konkrit, perhatikan saja pagi-pagi sekali acara di televisi sudah menyuguhkan buat kita bermacam ragam gunjingan para selebritis dan tokoh. Bahkan, terkadang bahasa yang digunakan presenter mengandung bau pornografi. Malu bercampur benci mendengarkannya.

Apa produsernya tidak memikirkan, kalau aktivitas gosip yang dilakukan bisa menjelma menjadi fitnah, pencemaran nama baik, atau bahkan tindak pidana lain yang dapat digugat sacara hukum? Sepertinya paham, tapi tetap saja ditayangkan. Bahkan mudharat yang lebih besar lagi bisa terjadi, ketika sibuk membeberkan kasus perceraian dua insan selebritis, yang akhirnya bukan malah mendamaikan, tapi justru menjadi makin melebarnya jurang perpecehan dan bahkan berbuntut permusuhan.

Intinya, pembicaraan yang digosipkan nyaris tidak ada yang dapat diambil hikmah dan teladannya. Tak lain dari tujuan acara tersebut hanya menjanjikan hiburan, konsumsi, bahkan tak jarang aksi eksploitasi atas derita yang menimpa orang lain dan semacamnya. Ya, itulah hiburan media yang garing menurut syari'at.

Menggunjing orang adalah membuka aib sesama yang dilarang. Pelarangnya pun disitir di dalam Al-Qur'an,... "Janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain..."(QS. Al-Hujarat [49] : 12). Menceritakan aib orang yang jelas-jelas dilakukan adalah dosa besar, apalagi jika yang digembor-gemborkan itu ternyata tidak pernah dilakukan. Logikanya, dosanya tentunya lebih besar, karena sudah masuk dalam kategori fitnah dan adu domba, yang tak lain pelakunya sudah sah mendapatkan 'cap' orang yang bakal menghuni neraka. Alangkah bijaksana, bila rajin membaca berulang-ulang dan merenungkan kalimat selanjutnya dari ayat tersebut, "Sukakah kamu memakan daging saudaramu yang sudah mati?"Tujuannya, agar selalu waspada dalam berbicara.

Karena itu, saat kita berpuasa yang diwajibkan bukan saja momen untuk menahan diri dari makan dan minum. Tapi juga menjadi momentum untuk menahan diri dari menggunjing dan membuka aib orang.
Posted by Uswah On 11:24 AM No comments READ FULL POST
Sesungguh Islam menempatkan wanita pada posisi yg tinggi dan sejajar dengan pria. Namun dalam beberapa hal ada yang harus berbeda karena pria dan wanita hakikat adalah makhluk yang berbeda. Kesalahan dalam memahami ajaran yang benar inilah yg menjadikan Islam kerap dituding sebagai agama yang menempatkan wanita sebagai “warga kelas dua.” Benarkah? Simak penjelasannya!

Suatu hal yang tidak kita sangsikan bahwa Islam demikian memuliakan wanita dari semula makhluk yang tiada berharga di hadapan “peradaban manusia” diinjak-injak kehormatan dan harga diri kemudian diangkat oleh Islam ditempatkan pada tempat yang semesti dijaga dihargai dan dimuliakan. Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan banyak kebaikan kepada hamba-hambaNya.

Penjelasan ringkas akan hak-hak wanita menurut Islam di bawah ini sedikit akan memberikan gambaran bagaimana Islam menjaga hak-hak kaum wanita sejak mereka dilahirkan ke muka bumi dibesarkan di tengah keluarga sampai dewasa beralih ke perwalian sang suami.

1. Pada Masa Kanak-kanak

Di masa jahiliah tersebar di kalangan bangsa Arab khusus kebiasaan menguburkan anak perempuan hidup-hidup karena keengganan mereka memelihara anak perempuan. Lalu datanglah Islam mengharamkan perbuatan tersebut dan menuntun manusia utk berbuat baik kepada anak perempuan serta menjaga dengan baik. Ganjaran yang besar pun dijanjikan bagi yang mau melaksanakannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan anjuran dalam sabdaNya:

مَنْ عَالَ جَارِيَتَيْنِ حَتَّى تَبْلُغَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنَا وَهُوَ  (1
 
Siapa yg memelihara dua anak perempuan hingga kedua mencapai usia baligh maka orang tersebut akan datang pada hari kiamat dalam keadaan aku dan dia seperti dua jari ini.” Beliau menggabungkan jari-jemarinya.

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkisah: “Datang ke rumahku seorang wanita peminta-minta beserta dua putrinya. Namun aku tidak memiliki apa-apa yang dapat kusedekahkan kepada mereka kecuali hanya sebutir kurma. Wanita tersebut menerima kurma pemberianku lalu dibagi untuk kedua putrinya sementara ia sendiri tidak memakannya. Kemudian wanita itu berdiri dan keluar dari rumahku. tidak berapa lama masuklah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kuceritakan hal tersebut kepada beliau. Usai mendengar penuturanku beliau bersabda:

مَنِ ابْتُلِيَ مِنْ هَذِهِ الْبَنَاتِ بِشَيْءٍ فَأَحْسَنَ إِلَيْهِنَّ كُنَّ لَهُ سِتْرًا مِنَ النَّارِ

Siapa yang diuji dengan sesuatu dari anak-anak perempuan lalu ia berbuat baik kepada mereka maka mereka akan menjadi penghalang/penutup bagi dari api neraka.”

Kata Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu dalam penjelasan atas hadits di atas: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut dengan ujian karena manusia biasa tidak menyukai anak perempuan sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang kebiasaan orang2 jahiliah:

وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِاْلأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيْمٌ. يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوْءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُوْنٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلاَ ساَءَ مَا يَحْكُمُوْنَ

Apabila salah seorang dari mereka diberi kabar gembira dengan kelahiran anak perempuan menjadi merah padamlah wajah dalam keadaan ia menahan amarah. Ia menyembunyikan diri dari orang banyak karena buruk berita yang disampaikan kepadanya. apakah ia akan memelihara dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkan hidup-hidup di dalam tanah? Ketahuilah alangkah buruk apa yg mereka tetapkan itu.

Hadits-hadits yang telah disebutkan di atas menunjukkan keutamaan berbuat baik kepada anak perempuan memberikan nafkah kepada mereka dan bersabar memelihara mereka.

Islam mewajibkan kepada seorang ayah untuk menjaga anak perempuan memberi nafkah kepadanya sampai ia menikah dan memberikan kepadanya bagian dari harta warisan.
 
2. Dalam masalah pernikahan

Wanita diberi hak untuk menentukan pendamping hidup dan diperkenankan menolak calon suami yang diajukan orang tua atau kerabat bila tidak menyukainya. Beberapa hadits di bawah ini menjadi bukti:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تُنْكَحُ اْلأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَكَيْفَ إِذْنُهَا؟ قَالَ: أَنْ تَسْكُتَ

Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan hingga diminta izinnya.” Para sahabat berkata: “Wahai Rasulullah bagaimanakah izin seorang gadis?” “Izin adalah dengan ia diam” jawab Rasulullah.

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ الْبِكْرَ تَسْتَحِي. قاَلَ: رِضَاهَا صَمْتُهَا
 
Wahai Rasulullah sesungguh seorang gadis itu malu .” Beliau menjelaskan “Tanda ridhanya gadis itu adl diamnya.”

Khansa` bintu Khidam Al-Anshariyyah radhiyallahu ‘anha mengabarkan ayahnya menikahkannya dengan seorang lelaki ketika ia menjanda. Namun ia menolak pernikahan tersebut. Ia adukan perkaranya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga akhir beliau membatalkan pernikahannya.

Hadits di atas diberi judul oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dalam kitab Shahihnya: Bab Apabila seseorang menikahkan putri sementara putri tidak suka maka pernikahan itu tertolak.

Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr Ash-Shiddiq menceritakan salah seorang putri Ja’far2 merasa khawatir wali akan menikahkan secara paksa. maka ia mengutus orang untuk mengadukan hal tersebut kepada dua syaikh dari kalangan Anshar ‘Abdurrahman dan Majma’ keduanya adalah putra Yazid bin Jariyah. Keduanya berkata “Janganlah kalian khawatir karena ketika Khansa` bintu Khidam dinikahkan ayah dalam keadaan ia tidak suka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak pernikahan tersebut.”

Buraidah ibnul Hushaib radhiyallahu ‘anhu mengabarkan:

جَاءَتْ فَتَاةٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقاَلَتْ: إِنَّ أَبِي زَوَّجَنِي ابْنَ أَخِيْهِ لِيَرْفَعَ بِي خَسِيْسَتَهُ. قَالَ: فَجَعَلَ اْلأَمْرَ إِلَيْهَا، فَقَالَتْ: قَدْ أَجَزْتُ مَا صَنَعَ أَبِي، وَلَكِنْ أَرَدْتُ أَنْ تَعْلَمَ النِّسَاءُ أَنْ لَيْسَ لِلآبَاءِ مِنَ اْلأَمْرِ شَيْءٌ

Pernah datang seorang wanita muda menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rangka mengadu ‘Ayahku menikahkanku dengan anak saudaranya untuk menghilangkan kehinaan yang ada padanya dengan pernikahanku tersebut’ ujarnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan keputusan padanya. Si wanita berkata ‘Aku membolehkan ayah untuk melakukannya. Hanya saja aku ingin para wanita tahu bahwa ayah mereka tidak memiliki urusan sedikitpun dalam memutuskan perkara seperti ini’.” “Hadits ini shahih menurut syarat Al-Imam Muslim.”

Islam memberikan hak seperti ini kepada wanita karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan wanita sebagai penenang bagi suami dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kehidupan suami istri ditegakkan di atas mawaddah wa rahmah. maka bagaimana akan terwujud makna yang tinggi ini apabila seorang gadis diambil secara paksa sebagai istri sementara ia dalam keadaan tidak suka? Lalu bila demikian keadaan sampai kapan pernikahan itu akan bertahan dengan tenang dan tenteram?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu menyatakan: “Tidak boleh seorang pun menikahkan seorang wanita kecuali terlebih dahulu meminta izin sebagaimana hal ini diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apabila si wanita tidak suka maka ia tidak boleh dipaksa untuk menikah. Dikecualikan dalam hal ini bila si wanita masih kecil karena boleh bagi ayah menikahkan gadis kecil tanpa meminta izinnya. Adapun wanita yang telah berstatus janda dan sudah baligh maka tdk boleh menikahkan tanpa izin sama saja baik yang menikahkan itu ayah atau yang lainnya. Demikian menurut kesepakatan kaum muslimin.”

Ibnu Taimiyyah rahimahullahu melanjutkan: “Ulama berbeda pendapat tentang izin gadis yang akan dinikahkan apakah izin itu wajib hukum atau mustahab . Yang benar dalam hal ini adalah izin tersebut wajib. Dan wajib bagi wali si wanita untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam memilih lelaki yang akan ia nikahkan dengsn si wanita dan hendak si wali melihat apakah calon suami si wanita tersebut sekufu atau tidak. Karena pernikahan itu untuk kemaslahatan si wanita bukan untuk kemaslahatan pribadi si wali.”

Islam menetapkan kepada seorang lelaki yang ingin menikahi seorang wanita agar memberikan mahar pernikahan kepada si wanita. Dan mahar itu nanti adalah hak si wanita tidak boleh diambil sedikitpun kecuali dengan keridhaannya.

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْئًا مَرِيْئًا

Berikanlah mahar kepada para wanita sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian dengan senang hati sebagian dari mahar tersebut maka makanlah pemberian itu yang sedap lagi baik akibatnya.”

Al-Imam Al-Qurthubi Subhanahu wa Ta’ala berkata: “Ayat ini menunjukkan wajib pemberian mahar kepada wanita yang dinikahi. Ulama menyepakati hal ini tanpa ada perbedaan pendapat kecuali riwayat sebagian ahlul ilmi dari penduduk Irak yang menyatakan bila seorang tuan menikahkan budak laki-laki dengan budak wanita maka tidak wajib ada mahar. Namun pendapat ini tidak dianggap. ”

3. Sebagai Seorang Ibu

Islam memuliakan wanita semasa kecil ketika remaja dan saat ia menjadi seorang ibu. Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan seorang anak untuk berbakti kepada kedua orang tua ayah dan ibu. Allah Subhanahu wa Ta’ala titahkan hal ini dalam TanzilNya setelah mewajibkan ibadah hanya kepadaNya:

وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلاً كَرِيْمًا. وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيْرًا

Tuhanmu telah menetapkan agar janganlah kalian beribadah kecuali hanya kepadaNya dan hendaklah kalian berbuat baik terhadap kedua orangtua. Apabila salah seorang dari kedua atau kedua-duanya menginjak usia lanjut dalam pemeliharaanmu maka janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan jangan membentak keduanya namun ucapkanlah kepada kedua perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang ucapkanlah doa “Wahai Tuhanku kasihilah mereka berdua sebagaimana mereka telah memelihara dan mendidikku sewaktu kecil.”

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:

وَوَصَّيْنَا اْلإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاَثُوْنَ شَهْرًا

Dan Kami telah mewasiatkan manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibu telah mengandung dengan susah payah dan melahirkan dengan susah payah pula. Mengandung sampai menyapih adalah tigapuluh bulan

Ketika shahabat yg mulia Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ؟ قَالَ: الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا. قَالَ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ..

Amal apakah yang paling dicintai oleh Allah?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab “Shalat pada waktunya.” “Kemudian apa setelah itu?”  ‘Abdullah lagi bertanya lagi. Kata beliau “Kemudian birrul walidain .”

Kata Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu -seorang shahabat Rasul yang sangat berbakti kepada ibundanya- “Ada seseorang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُمَّ أَبُوْكَ

Wahai Rasulullah siapakah di antara manusia yang paling berhak untuk aku berbuat baik kepadanya?” Rasulullah menjawab “Ibumu.” “Kemudian siapa?” orang  itu bertanya lagi. “Ibumu” jawab beliau. Kembali orang itu bertanya “Kemudian siapa?” “Ibumu.” “Kemudian siapa?” orang itu bertanya lagi. “Kemudian ayahmu” jawab Rasulullah.

Hadits di atas menunjukkan pada kita bahwa hak ibu lebih tinggi daripada hak ayah dalam menerima perbuatan baik dari anaknya. Hal itu disebabkan seorang ibulah yang merasakan kepayahan mengandung melahirkan dan menyusui. Ibulah yang bersendiri merasakan dan menanggung ketiga perkara tersebut kemudian nanti dalam hal mendidik baru seorang ayah ikut andil di dalamnya. Demikian dinyatakan Ibnu Baththal rahimahullahu sebagaimana dinukil oleh Al-Hafidz rahimahullahu.

Islam mengharamkan seorang anak berbuat durhaka kepada ibu sebagaimana ditegaskan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau:

إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوْقَ اْلأُمَّهَاتِ..

Sesungguh Allah mengharamkan kalian berbuat durhaka kepada para ibu

Al-Hafizh rahimahullahu menerangkan “Dikhususkan penyebutan para ibu dalam hadits ini karena perbuatan durhaka kepada mereka lebih cepat terjadi daripada perbuatan durhaka kepada ayah disebabkan kelemahan mereka sebagai wanita. Dan juga untuk memberikan peringatan bahwa berbuat baik kepada seorang ibu dengan memberikan kelembutan kasih sayang dan semisal lebih didahulukan daripada kepada ayah.”
Bahkan seorang ibu yang masih musyrik ataupun kafir tetap diwajibkan seorang anak berbuat baik kepadanya. Hal ini ditunjukkan dalam hadits Asma` bintu Abi Bakr radhiyallahu ‘anha. Ia berkisah: “Ibuku yang masih musyrik datang mengunjungiku bertepatan saat terjalin perjanjian antara Quraisy dgn Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku pun bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Ibuku datang berkunjung dan memintaku untuk berbuat baik kepadanya. Apakah aku boleh menyambung hubungan dengannya?” Beliau menjawab “Ya sambunglah hubungan dengan ibumu.”

4. Sebagai Istri

Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan seorang suami agar bergaul dgn istri dengan cara yang baik.

وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ

Dan bergaullah dengan mereka dengan cara yg baik.”

Asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata “Ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ meliputi pergaulan dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Karena itu sepantasnya seorang suami mempergauli istrinya dengan cara yang ma’ruf menemani dan menyertai dengan baik, menahan gangguan terhadapnya, mencurahkan kebaikan dan memperbagus hubungan dengannya. Termasuk dalam hal ini pemberian nafkah pakaian dan semisalnya.
Dan tentu pemenuhan berbeda-beda sesuai dgn perbedaan keadaan.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para suami:

لاَ تَضْرِبُوا إِمَاءَ اللهِ

Janganlah kalian memukul hamba-hamba perempuan Allah.”

‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu datang mengadu “Wahai Rasulullah para istri berbuat durhaka kepada suami-suami mereka.” Mendengar hal itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan untuk memukul istri bila berbuat durhaka. Selang beberapa waktu datanglah para wanita dalam jumlah yang banyak menemui istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengadukan perbuatan suami mereka. Mendengar pengaduan tersebut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَيْسَ أُولَئِكَ بِخِيَارِكُمْ

Mereka itu bukanlah orang yang terbaik di antara kalian.”

Beliau juga pernah bersabda:

أَكْمَلُ المُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنَسَائِهِمْ

Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlak di antara mereka. Dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.”

Banyak hak yang diberikan Islam kepada istri seperti suami dituntut untuk bergaul dengan baik terhadap istri ia berhak memperoleh nafkah pengajaran penjagaan dan perlindungan yang ini semua tidak didapatkan oleh para istri di luar agama Islam.
Bila sudah demikian penjagaan Islam terhadap hak wanita dan pemuliaan Islam terhadap kaum wanita; lalu apa lagi yang ingin diteriakkan oleh kalangan feminis dan yang berjuang untuk persamaan gender yang katanya memperjuangkan hak wanita padahal sebenarnya ingin mencampakkan wanita kembali ke lembah kehinaan terpuruk dan terinjak-injak?
Wallahul musta’an.
Keterangan Hadits:
1) Maknanya:
جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنَا وَهُوَ كَهَاتَيْنِ

2) Kemungkinan terbesar Ja’far yang dimaksud adalah Ja’far bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu kata Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu.
Posted by Uswah On 11:22 AM No comments READ FULL POST
Pada dasarnya menggunakan pakaian hitam adalah boleh, karena Rasulullah pun pernah menggunakan yang berwarna hitam. Hanya saja, ketika suatu jenis pakaian telah menjadi ciri khas dari orang kafir seperti pakaian serba hitam-hitam ketika melayat orang mati, maka Imam Ghozali dalam kitab ihya’-nya menyatakan bahwa hukum memakainya adalah haram karena termasuk tasyabbuh (penyerupaan) dengan gaya hidup dan pakaian orang-orang kafir. Rasulullah SAW bersabda :

” مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“ Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari mereka “

Namun, menurut pendapat dari Imam ‘Izzuddin bin Abdussalam dan Imam Romli adalah boleh dikarenakan pakaian hitam diperbolehkan oleh syari’at, kecuali jika dalam memakainya dimaksudkan untuk menyerupai orang-orang kafir, maka diharamkan. Pandangan Imam ‘Izzuddin bin Abdussalam, tasyabbuh yang dilarang oleh syari’at adalah penyerupaan dengan orang kafir dalam hal yang bertentangan dengan syari’at Islam dan bukanlah pada perkara yang sunnah, wajib atau mubah (boleh).

Adapun mengikuti acara orang selain Islam, maka jika itu adalah acara keagamaan dan bermaksud ikut mensyi’arkan agama mereka, maka dihukumi murtad (keluar dari Islam), na’udzu billah min dzalik. Dan jika hanya ikut menyemarakkan acaranya tanpa memandang pada penyemarakan agama mereka, maka tidak dihukumi murtad namun berdosa.

SARAN KAMI : Alangkah baiknya tidak mengenakan pakaian serba hitam ketika melayat walaupun ada pendapat ulama’ yang memperbolehkannya dengan pertimbangan keluar dari khilaf ulama’ yang menyatakan haram sekalipun tidak ada niatan untuk menyerupai orang-orang kafir. Disamping itu, pakaian yang sunnah dan paling disukai oleh Rasulullah adalah putih, bukan hitam.

Pada saat ini kita banyak terbuai dengan istilah “ TOLERANSI ANTAR UMAT BERAGAMA “, hingga kita melakukan sesuatu yang sudah melewati batas-batas aturan syari’at seperti ikut merayakan perayaan keagamaan agama lain, mengucapkan selamat pada agama lain seperti ucapan “SELAMAT NATAL”, dan lain sebagainya. Makna toleransi sesungguhnya adalah berkaitan duniawi dan bukanlah berkaitan dengan urusan keagamaan hingga melanggar aturan syari’at agamanya.



إحياء علوم الدين – (ج 2 / ص 110)

الثالثة، الاجتماع عليها: لما أن صار من عادة أهل الفسق فيمنع من التشبه بهم؛ لأن من تشبه بقوم فهو منهم. وبهذه العلة نقول بترك السنة مهما صارت شعاراً لأهل البدعة خوفاً من التشبه بهم. وبهذه العلة حرم ضرب الكوبة، وهو طبل مستطيل دقيق الوسط واسع الطرفين، وضربها عادة المخنثين ولولا ما فيه من التشبيه لكان مثل طبل الحجيج والغزو، وبهذه العلة نقول لو اجتمع جماعة وزينوا مجلساً وأحضروا آلات الشرب وأقداحه، وصبوا فيها الكنجين، ونصبوا ساقياً يدور عليهم ويسقيهم، فيأخذون من الساقي ويشربون ويحيي بعضهم بعضاً بكلماتهم المعتادة بينهم حرم ذلك عليهم، وإن كان المشروب مباحاً في نفسه، لأن في هذا تشبهاً بأهل الفساد، بل لهذا ينهى عن لبس القباء وعن ترك الشعر على الرأس قزعاً في بلاد صار القباء فيها من لباس أهل الفساد، ولا ينهى عن ذلك فيما وراء النهر لاعتياد أهل الصلاح ذلك فيهم. فبهذه المعاني حرم المزمار العراقي والأوتار كلها كالعود والصنج والرباب والبربط وغيرها. وما عدا ذلك فليس في معناها كشاهين الرعاة والحجيج وشاهين الطبالين وكالطبل والقضيب، وكل آلة يستخرج منها صوت مستطاب موزون سوى ما يعتاده أهل الشرب لأن كل ذلك لا يتعلق بالخمر ولا يذكر بها ولا يشوق إليها ولا يوجب التشبه بأربابها فلم يكن في معناها. فبقي على أصل الإباحة قياساً على أصوات الطيور وغيرها، بل أقول سماع الأوتار ممن يضربها على غير وزن متناسب مستلذ حرام أيضاً. وبهذا يتبين أنه ليست العلة في تحريمها مجرد اللذة الطيبة، بل القياس تحليل الطيبات كلها إلا ما في تحليله فساد. قال الله تعالى: ” قل من حرم زينة الله التي أخرج لعباده والطيبات من الرزق ” فهذه الأصوات لا تحرم من حيث إنها أصوات موزونة وإنما تحرم بعارض آخر. كما سيأتي
في العوارض المحرمة.



فتاوى الرملي – (ج 4 / ص 39)

( سُئِلَ ) عَنْ جَمَاعَةٍ شَرِبُوا مُبَاحًا ، وَأَدَارُوهُ بَيْنَهُمْ كَإِدَارَةِ الْخَمْرِ وَلَمْ يَقْصِدُوا التَّشْبِيهَ بِشَارِبِهَا فَهَلْ يَحْرُمُ ذَلِكَ أَمْ لَا ؟ ( فَأَجَابَ ) بِأَنَّهُ لَا يَحْرُمُ شُرْبُهُمْ إيَّاهُ عَلَى الْهَيْئَةِ الْمَذْكُورَةِ ، وَإِنَّمَا يَحْرُمُ إذَا قَصَدُوا بِهِ التَّشْبِيهَ بِشَرَبَةِ الْخَمْرِ فَخَرَجَ بِهَذَا أَمْرَانِ أَحَدُهُمَا أَنْ لَا يَعْرِفُوا أَنَّ هَذِهِ الْهَيْئَةَ هَيْئَةُ شُرْبِ الْخَمْرِ .ثَانِيهِمَا أَنْ يَعْرِفُوهَا وَلَمْ يَقْصِدُوا بِشُرْبِهِمْ الْمَذْكُورِ
التَّشْبِيهَ الْمَذْكُورَ ، وَمَعْلُومٌ أَنَّ قَصْدَهُمْ لَا يُعْلَمُ إلَّا مِنْهُمْ .


فتاوى عز الدين بن عبد السلام ص 45
13- مسألة : من المراد بقول الفقهاء (زي الأعاجم) من هم الأعاجم ؟ وما الفرق بين “الأعاجم” و”العجم” عندكم ؟ الجواب : المراد بالأعاجم الذين نهينا عن التشبه بهم كأتباع الأكاسرة في ذلك الزمان ويختص النهي بما يفعلونه على خلاف مقتضى شرعنا ، وما فعلواه على وفق الندب او الإيجاب او الإباحة في شرعنا فلا بترك لأجل تعاطيهم اياه، فإن الشرع لا ينهى عن التشبه بمن بفعل بما أذن الله تعالى.

في حسن السير في بيان أحكام التشبه بالغير للسيد محمد عوض الشريف الدمياطي ص 11-12
فإن قلت : فقد صار هذا الخضاب شعار الأعاجم وقد نهينا عن التشبه بهم لأن من تشبه بقوم فهو منهم، فما تصنع في هذا التعارض ؟ قلت : اما حجة الإسلام الغزالي رضي الله عنه فانه قال في كتاب السماع من إحيائه : مهما صارت شعاراً لأهل البدعة قلنا بتركها خوفاً من التشبه بهم. واما سلطان العلماء العز بن عبد السلام فانه أشار الى رده في فتاواه إذ قال : المراد بالأعاجم الذين نهينا عن التشبه بهم كأتباع الأكاسرة في ذلك الزمان ويختص النهي بما يفعلونه على خلاف مقتضى شرعنا ، وما فعلواه على وفق الندب او الإيجاب او الإباحة في شرعنا فلا بترك لأجل تعاطيهم اياه، فإن الشرع لا ينهى عن التشبه بمن بفعل بما أذن الله تعالى.


عون المعبود – (ج 5 / ص 172)
( وَلَا تَلْبَس ثَوْبًا مَصْبُوغًا إِلَّا ثَوْب عَصْب ) : بِمُهْمَلَتَيْنِ مَفْتُوحَة ثُمَّ سَاكِنَة ثُمَّ مُوَحَّدَة وَهُوَ بِالْإِضَافَةِ ، وَهِيَ بُرُود الْيَمَن يُعْصَب غَزْلهَا أَيْ يُرْبَط ثُمَّ يُصْبَغ ثُمَّ يُنْسَخ مَعْصُوبًا فَيَخْرُج مُوَشًّى ، لِبَقَاءِ مَا عُصِبَ بِهِ أَبْيَض لَمْ يَنْصَبِغ . وَإِنَّمَا يُعْصَب السَّدَى دُون اللُّحْمَة .قَالَ اِبْن الْمُنْذِر : أَجْمَعَ الْعُلَمَاء عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوز لِلْحَادَّةِ لُبْس الثِّيَاب الْمُعَصْفَرَة وَلَا الْمُصْبَغَة إِلَّا مَا صُبِغَ بِسَوَادٍ ، فَرَخَّصَ فِيهِ مَالِك وَالشَّافِعِيّ لِكَوْنِهِ لَا يُتَّخَذ لِلزِّينَةِ بَلْ هُوَ مِنْ لِبَاس الْحُزْن ، وَكَرِهَ عُرْوَة الْعَصْب أَيْضًا وَكَرِهَ مَالِك غَلِيظه .قَالَ اِبْن النَّوَوِيّ : الْأَصَحّ عِنْد أَصْحَابنَا تَحْرِيمه مُطْلَقًا ، وَهَذَا الْحَدِيث حُجَّة لِمَنْ أَجَازَهُ .وَقَالَ اِبْن دَقِيق الْعِيد : يُؤْخَذ مِنْ مَفْهُوم الْحَدِيث جَوَاز مَا لَيْسَ بِمَصْبُوغٍ ، وَهِيَ الثِّيَاب الْبِيض وَمَنَعَ بَعْض الْمَالِكِيَّة الْمُرْتَفِع مِنْهَا الَّذِي يُتَزَيَّن بِهِ ، وَكَذَلِكَ الْأَسْوَد إِذَا كَانَ مِمَّنْ يُتَزَيَّن بِهِ .


فتح الباري لابن حجر – (ج 16 / ص 358)
وَقَوْله : ” فِي رِسْلهمَا ” بِالتَّثْنِيَةِ فِي رِوَايَة الْكُشْمِيهَنِيِّ ” فِي رِسْلهَا ” وَكَذَا الْقَوْل فِي قَوْله : ” حَتَّى يَنْعِق بِهِمَا ” عِنْده ” بِهَا ” قَالَ الْإِسْمَاعِيلِيّ : مَا ذُكِرَ مِنْ الْعِصَابَة لَا يَدْخُل فِي التَّقَنُّع فَالتَّقَنُّع تَغْطِيَة الرَّأْس وَالْعِصَابَة شَدّ الْخِرْقَة عَلَى مَا أَحَاطَ بِالْعِمَامَةِ . قُلْت : الْجَامِع بَيْنهمَا وَضْع شَيْء زَائِد عَلَى الرَّأْس فَوْق الْعِمَامَة وَاَللَّه أَعْلَم . وَنَازَعَ اِبْن الْقَيِّم فِي ” كِتَاب الْهُدَى ” مَنْ اِسْتَدَلَّ بِحَدِيثِ التَّقَنُّع عَلَى مَشْرُوعِيَّة لُبْس الطَّيْلَسَان بِأَنَّ التَّقَنُّع غَيْر التَّطَيْلُس ، وَجَزَمَ بِأَنَّهُ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَلْبَس الطَّيْلَسَان وَلَا أَحَد مِنْ أَصْحَابه . ثُمَّ عَلَى تَقْدِير أَنْ يُؤْخَذ مِنْ التَّقَنُّع بِأَنَّهُ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَتَقَنَّع إِلَّا لِحَاجَةٍ وَيَرُدّ عَلَيْهِ حَدِيث أَنَس ” كَانَ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِر الْقِنَاع ” وَقَدْ ثَبَتَ أَنَّهُ قَالَ : ” مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ ” كَمَا تَقَدَّمَ مُعَلَّقًا فِي كِتَاب الْجِهَاد مِنْ حَدِيث اِبْن عُمَر وَوَصَلَهُ أَبُو دَاوُدَ ، وَعِنْد التِّرْمِذِيّ مِنْ حَدِيث أَنَس ” لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا ” وَقَدْ ثَبَتَ عِنْد مُسْلِم مِنْ حَدِيث النَّوَّاس بْن سَمْعَان فِي قِصَّة الدَّجَّال ” يَتْبَعهُ الْيَهُود وَعَلَيْهِمْ الطَّيَالِسَة ” وَفِي حَدِيث أَنَس أَنَّهُ رَأَى قَوْمًا عَلَيْهِمْ الطَّيَالِسَة فَقَالَ : ” كَأَنَّهُمْ يَهُود خَيْبَر ” وَعُورِضَ بِمَا أَخْرَجَهُ اِبْن سَعْد بِسَنَدٍ مُرْسَل ” وُصِفَ لِرَسُولِ اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الطَّيْلَسَان فَقَالَ : هَذَا ثَوْب لَا يُؤَدِّي شُكْره ” أَخْرَجَهُ وَإِنَّمَا يَصْلُح الِاسْتِدْلَال بِقِصَّةِ الْيَهُود فِي الْوَقْت الَّذِي تَكُون الطَّيَالِسَة مِنْ شِعَارهمْ ، وَقَدْ اِرْتَفَعَ ذَلِكَ فِي هَذِهِ الْأَزْمِنَة فَصَارَ دَاخِلًا فِي عُمُوم الْمُبَاح ، وَقَدْ ذَكَرَهُ اِبْن عَبْد السَّلَام فِي أَمْثِلَة الْبِدْعَة الْمُبَاحَة ، وَقَدْ يَصِير مِنْ شَعَائِر قَوْم فَيَصِير تَرْكه مِنْ الْإِخْلَال بِالْمُرُوءَةِ كَمَا نَبَّهَ عَلَيْهِ الْفُقَهَاء أَنَّ الشَّيْء قَدْ يَكُون لِقَوْمٍ وَتَرَكَهُ بِالْعَكْسِ ، وَمَثَّلَ اِبْن الرِّفْعَة ذَلِكَ بِالسُّوقِيِّ وَالْفَقِيه فِي الطَّيْلَسَان .

 
الفتاوى الفقهية الكبرى  – (ج 9 / ص 356)
( بَابُ الرِّدَّةِ ) ( وَسُئِلَ ) رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَرَضِيَ عَنْهُ هَلْ يَحِلُّ اللَّعِبُ بِالْقِسِيِّ الصِّغَارِ الَّتِي لَا تَنْفَعُ وَلَا تَقْتُلُ صَيْدًا بَلْ أُعِدَّتْ لِلَعِبِ الْكُفَّارِ وَأَكْلُ الْمَوْزِ الْكَثِيرِ الْمَطْبُوخِ بِالسُّكَّرِ وَإِلْبَاسُ الصِّبْيَانِ الثِّيَابَ الْمُلَوَّنَةِ بِالصُّفْرَةِ تَبَعًا لِاعْتِنَاءِ الْكَفَرَةِ بِهَذِهِ فِي بَعْضِ أَعْيَادِهِمْ وَإِعْطَاءِ الْأَثْوَابِ وَالْمَصْرُوفِ لَهُمْ فِيهِ إذَا كَانَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُمْ تَعَلُّقٌ مِنْ كَوْنِ أَحَدِهِمَا أَجِيرًا لِلْآخَرِ مِنْ قَبِيلِ تَعْظِيمِ النَّيْرُوزِ وَنَحْوِهِ فَإِنَّ الْكَفَرَةَ صَغِيرَهُمْ وَكَبِيرَهُمْ وَضَعِيفَهُمْ وَرَفِيعَهُمْ حَتَّى مُلُوكَهُمْ يَعْتَنُونَ بِهَذِهِ الْقِسِيِّ الصِّغَارِ وَاللَّعِبِ بِهَا وَبِأَكْلِ الْمَوْزِ الْكَثِيرِ الْمَطْبُوخِ بِالسُّكَّرِ اعْتِنَاءً كَثِيرًا وَكَذَا بِإِلْبَاسِ الصِّبْيَانِ الثِّيَابَ الْمُصَفَّرَةَ وَإِعْطَاءَ الْأَثْوَابِ وَالْمَصْرُوفِ لِمَنْ يَتَعَلَّقُ بِهِمْ وَلَيْسَ لَهُمْ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ عِبَادَةُ صَنَمٍ وَلَا غَيْرِهِ وَذَلِكَ إذَا كَانَ الْقَمَرُ فِي سَعْدِ الذَّابِحِ فِي بُرْجِ الْأَسَدِ وَجَمَاعَةٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ إذَا رَأَوْا أَفْعَالَهُمْ يَفْعَلُونَ مِثْلَهُمْ فَهَلْ يَكْفُرُ ، أَوْ يَأْثَمُ الْمُسْلِمُ إذَا عَمِلَ مِثْلَ عَمَلِهِمْ مِنْ غَيْرِ اعْتِقَادِ تَعْظِيمِ عِيدِهِمْ وَلَا افْتِدَاءٍ بِهِمْ أَوْ لَا ؟ ( فَأَجَابَ ) نَفَعَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى بِعُلُومِهِ الْمُسْلِمِينَ بِقَوْلِهِ لَا كُفْرَ بِفِعْلِ شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ فَقَدْ صَرَّحَ أَصْحَابُنَا بِأَنَّهُ لَوْ شَدَّ الزُّنَّارَ عَلَى وَسَطِهِ ، أَوْ وَضَعَ عَلَى رَأْسِهِ قَلَنْسُوَةَ الْمَجُوسِ لَمْ يَكْفُرْ بِمُجَرَّدِ ذَلِكَ ا هـ .فَعَدَمُ كُفْرِهِ بِمَا فِي السُّؤَالِ أَوْلَى وَهُوَ ظَاهِرٌ بَلْ فَعَلَ شَيْئًا مِمَّا ذُكِرَ فِيهِ لَا يَحْرُمُ إذَا قَصَدَ بِهِ التَّشْبِيهَ بِالْكُفَّارِ لَا مِنْ حَيْثُ الْكُفْرُ وَإِلَّا كَانَ كُفْرًا قَطْعًا فَالْحَاصِلُ أَنَّهُ إنْ فَعَلَ ذَلِكَ بِقَصْدِ التَّشْبِيهِ بِهِمْ فِي شِعَارِ الْكُفْرِ كَفَرَ قَطْعًا ، أَوْ فِي شِعَارِ الْعَيدِ مَعَ قَطْعِ النَّظَرِ عَنْ الْكُفْرِ لَمْ يَكْفُرْ وَلَكِنَّهُ يَأْثَمُ وَإِنْ لَمْ يَقْصِدْ التَّشْبِيهَ بِهِمْ أَصْلًا وَرَأْسًا فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ ثُمَّ رَأَيْت بَعْضَ أَئِمَّتِنَا الْمُتَأَخِّرِينَ ذَكَرَ مَا يُوَافِقُ مَا ذَكَرْتُهُ فَقَالَ وَمِنْ أَقْبَحِ الْبِدَعِ مُوَافَقَةُ الْمُسْلِمِينَ النَّصَارَى فِي أَعْيَادِهِمْ بِالتَّشَبُّهِ بِأَكْلِهِمْ وَالْهَدِيَّةِ لَهُمْ وَقَبُولِ هَدِيَّتِهِمْ فِيهِ وَأَكْثَرُ النَّاسِ اعْتِنَاءً بِذَلِكَ الْمِصْرِيُّونَ وَقَدْ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ } بَلْ قَالَ ابْنُ الْحَاجِّ لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَبِيعَ نَصْرَانِيًّا شَيْئًا مِنْ مَصْلَحَةِ عِيدِهِ لَا لَحْمًا وَلَا أُدْمًا وَلَا ثَوْبًا وَلَا يُعَارُونَ شَيْئًا وَلَوْ دَابَّةً إذْ هُوَ مُعَاوَنَةٌ لَهُمْ عَلَى كُفْرِهِمْ وَعَلَى وُلَاةِ الْأَمْرِ مَنْعُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ ذَلِكَ وَمِنْهَا اهْتِمَامُهُمْ فِي النَّيْرُوزِ بِأَكْلِ الْهَرِيسَةِ وَاسْتِعْمَالِ الْبَخُورِ فِي خَمِيسِ الْعِيدَيْنِ سَبْعَ مَرَّاتٍ زَاعِمِينَ أَنَّهُ يَدْفَعُ الْكَسَلَ وَالْمَرَضَ وَصَبْغِ الْبَيْضِ أَصْفَرَ وَأَحْمَرَ وَبَيْعِهِ وَالْأَدْوِيَةُ فِي السَّبْتِ الَّذِي يُسَمُّونَهُ سَبْتَ النُّورِ وَهُوَ فِي الْحَقِيقَةِ سَبْتُ الظَّلَّامِ وَيَشْتَرُونَ فِيهِ الشَّبَثَ وَيَقُولُونَ إنَّهُ لِلْبَرَكَةِ وَيَجْمَعُونَ وَرَقَ الشَّجَرِ وَيَلْقُونَهَا لَيْلَةَ السَّبْتِ بِمَاءٍ يَغْتَسِلُونَ بِهِ فِيهِ لِزَوَالِ السِّحْرِ وَيَكْتَحِلُونَ فِيهِ لِزِيَادَةِ نُورِ أَعْيُنِهِمْ وَيَدَّهِنُونَ فِيهِ بِالْكِبْرِيتِ وَالزَّيْتِ وَيَجْلِسُونَ عَرَايَا فِي الشَّمْسِ لِدَفْعِ الْجَرَبِ وَالْحَكَّةِ وَيَطْبُخُونَ طَعَامَ اللَّبَنِ وَيَأْكُلُونَهُ فِي الْحَمَّامِ إلَى غَيْرِ ذَلِكَ مِنْ الْبِدَعِ الَّتِي اخْتَرَعُوهَا وَيَجِبُ مَنْعُهُمْ مِنْ التَّظَاهُرِ بِأَعْيَادِهِمْ ا هـ .
Posted by Uswah On 11:16 AM No comments READ FULL POST
Termasuk syarat sahnya shalat jamaah ketika imam dan makmum berada di luar masjid atau makmum berada di luar masjid sekalipun imam di dalam masjid, yaitu :
1. Imkanul murur atau memungkinkan bagi makmum untuk sampai ke imam dengan berjalan secara wajar tanpa membelokkan dan memalingkan badannya dari arah kiblat.

2. Rukyah (melihat) imam dengan sekiranya tidak dihalangi oleh sesuatu apapun.

Oleh karena itu, ketika makmum perempuan dihalangi oleh kain penutup, maka jika tidak menghalangi sampainya ke imam karena dapat ditembus dengan melewatinya dan tidak menghalangi rukyah karena ditutup dengan penutup yang tipis (transparan) atau tebal namun terbuka sedikit hingga masih bisa melihat imam, maka shalat jamaahnya sah. Namun jika bisa menghalangi sampainya ke imam seperti tertutup rapat hingga tidak bisa di tembus dengan berjalan melewatinya dan menghalangi rukyah (pandangan) ke imam seperti tertutup rapat dengan penutup yang tebal hingga tidak terlihat imamnya sama sekali atau jamaah yang punya kedudukan "sebagai pengganti imam" (karena berada dibelakang atau yang dekat dengan tabir pembatas), maka shalat jamaah perempuannya tidak sah.

Ketika shalat jamaahnya dinyatakan tidak sah, maka konsekuensinya tidak diperbolehkan baginya untuk mengikuti imam bahkan dapat membatalkan jika disertai menunggu imam yang lama tanpa melakukan apapun. Namun jika tidak mengikutinya atau mengikuti tanpa menunggu yang lama, maka shalatnya tetap sah dan terhitung sebagai shalat munfarid (sendiri).

Referensi / Kitab Maraji'nya:

فتح العلام

لو مان بين الإمام والمأموم خارج المسجد جدارا لا باب فيه او فيه با مسمر ضر لمنعه الوصول والرؤية، وكذا يضر ان كان فيه باب مردود او شباك لأن الأول يمنع الرؤية والثاني يمنع الوصول، نعم ان طرأ الرد في الأثناء وعلم المأموم بانتقالات الإمام لم يضر لأنه يغتفر في الدوام ما لا يغتفر في الإبتداء. ومثل الباب المردود الستر المرخى ، ويضر الباب المغلوق بقفل الضبة ابتداء او دواما كما في الباجوري، وذكر في بشرى الكريم انه ان طرأ غلقه في اثنائها بغير فعله وعلم بانتقالات الإمام لم يضر

تحفة المحتاج في شرح المنهاج  – (ج 8 / ص 203)

( ، وإن حال جدار ) أي لا باب فيه نهاية ومغني ( قوله : لعدم الاتصال ) قال الإسنوي نعم قال البغوي في فتاويه لو كان الباب مفتوحا وقت الإحرام فانغلق في أثناء الصلاة لم يضر انتهى وقد قدمنا الكلام عليه مغني قول المتن ( وكذا الباب المردود ) وفي الإمداد نقل ابن الرفعة أن الستر المسترخي كالباب المردود كردي ( قوله : لمنع الأول المشاهدة ) فيه شيء مع تمثيله قول المصنف السابق .فإن حال ما يمنع المرور لا الرؤية بقوله كالشباك والباب
المردود سم وتقدم عن البصري وغيره مثله
إعانة الطالبين – (ج 2 / ص35 

(قوله: فيشترط أيضا) أي كما يشترط فيما إذا كان أحدهما بمسجد والآخر خارجه. (وقوله: هنا) أي فيما إذا كان ببناءين أو أحدهما به والآخر في فضاء. (وقوله: ما مر) أي من قرب المسافة وعدم الحائل، أو وقوف واحد حذاء منفذ فيه. (قوله: فإن حال ما يمنع) أي حائل يمنع مرورا. (وقوله: كشباك) تمثيل لما يمنع المرور. (قوله: أو رؤية) أي أو حال ما يمنع رؤية. (وقوله: كباب مردود) تمثيل له. (قوله: وإن لم تغلق ضبته) غاية في تأثير الباب المردود، أي أنه يؤثر في صحة القدوة مطلقا، سواء أغلقت ضبته أم لا، فالمضر هنا مجرد الرد، سواء وجد غلق أو تسمير أم لا، بخلاف الابنية الكائنة في المساجد فإنه لا يضر فيها إلا التسمير، والفرق أنها فيه كبناء واحد، كما مر. (قوله: لمنعه) أي الباب المردود المشاهدة، أي مشاهدة الامام. وهو تعليل لكون الباب المردود يؤثر في صحة القدوة. (وقوله: وإن لم يمنع الاستطراق) أي الوصول للامام، وهذا إذا لم يغلق الباب. (قوله: ومثله) أي الباب المردود، في الضرر. (وقوله: الستر) بكسر السين، اسم للشئ الذي يستر به، وبالفتح، اسم للفعل. (وقوله: المرخى) أي بين الامام والمأموم.

إعانة الطالبين – (ج 2 / ص 25)
(قوله: وطال عرفا انتظاره له) أي لما ذكر من الفعل أو السلام لاجل أن يتبعه فيه. وخرج به ما إذا تابعه من غير انتظار أو بعد انتظار لكنه غير طويل فلا يضر، ومثله إذا طال ولكنه لم يتابعه. والتقييد في مسألة الشك بالطول والمتابعة هو المعتمد – كما في التحفة والنهاية والمغني – خلافا لجمع منهم الاسنوي، والاذرعي، والزركشي – جعلوا الشك في نية القدوة كالشك في أصل النية، فأبطلوا الصلاة بالطويل وإن لم يتابع، وباليسير حيث تابع. (قوله: بطلت صلاته) أي لانه متلاعب لكونه وقفها على صلاة غيره بلا رابط بينهما. قال في النهاية: هل البطلان عام في العالم بالمنع والجاهل أو مختص بالعالم ؟ قال الاذرعي: لم أر فيه شيئا، وهو محتمل، والاقرب أنه يعذر. لكن قال في الوسيط: إن الاشبه عدم الفرق. وهو الاوجه. اه.

حواشي الشرواني – (ج 2 / ص 327)
(انتظاره إلخ) واعتبار الانتظار للركوع مثلا بعد القراءة الواجبة سم وع ش قوله: (له) أي للمتابعة شرح المنهج قول المتن (بطلت صلاته) هل البطلان عام في العالم بالمنع والجاهل أم مختص بالعالم قال الاذرعي لم أر فيه شيأ وهو محتمل والاقرب أنه يعذر الجاهل لكن قال أي الاذرعي في التوسط الاشبه عدم الفرق وهو الاوجه شرح م ر ا ه سم قال ع ش بقي ما لو ترك نية الاقتداء أو قصد أن لا يتابع الامالغرض ما فسها عن ذلك فانتظره على ظن أنه مقتد به فهل تضر متابعته حينئذ أو فيه نظر ولا يبعد عدم الضرر ثم رأيت الاذرعي في القوت ذكر أن مثل العالم والجاهل العامد والناسي فيضر ا ه قوله: (ذلك) أي المتابعة مغني وشرح المنهج قوله: (أو انتظره يسيرا) أي مع المتابعة سم قوله: (أو كثيرا بلا متابعة) وينبغي أن يزيد أو كثيرا وتابع لا لاجل فعله أخذا من قوله له سم وع ش عبارة البجيرمي ولم يذكر محترز قوله للمتابعة ومحترزه ما لو انتظر كثير الاجل غيرها كأن كان لا يحب الاقتداء بالامام لغرض ويخاف لو انفرد عنه حسا صولة الامام أو لوم الناس عليه لاتهامه بالرغبة عن الجماعة فإذا انتظر الامام لدفع نحو هذه الريبة فلا
يضر كما قرره شيخنا الحفني ا ه أي كما في المحلي والنهاية والمغني ما يفيده
المجموع – (ج 4 / ص 200)
(الشرح) اتفق نص الشافعي والاصحاب علي أنه يشترط لصحة الجماعة ان ينوى المأموم الجماعة والاقتداء والائتمام قالوا وتكون هذه النية مقرونة بتكبيرة الاحرام كسائر ما ينويه فان لم ينو في الابتداء وأحرم منفردا ثم نوى الاقتداء في أثناء صلاته ففيه خلاف ذكره المصنف بعد هذا وإذا ترك نية الاقتداء والانفراد واحرم مطلقا انعقدت صلاته منفردا فان تابع الامام في أفعاله من غير تجديد نية فوجهان حكاهما القاضي حسين في تعليقه والمتولي وآخرون (أصحهما) واشهرهما تبطل صلاته لانه ارتبط بمن ليس بامام له فاشبه الارتباط بغير المصلي وبهذا قطع البغوي وآخرون والثاني لا تبطل لانه أتى بالاركان علي وجهها وبهذا قطع الاكثرون فان قلنا لا تبطل صلاته كان منفردا ولا يحصل له فضيلة الجماعة بلا خلاف صرح به المتولي وغيره وان قلنا تبطل صلاته فانما تبطل إذا انتظر ركوعه وسجوده وغيرهما ليركع ويسجد معه وطال انتظاره . فاما إذا اتفق انقضاء فعله مع انقضاء فعله أو انتظره يسيرا جدا فلا تبطل بلا خلاف ولو شك في أثناء صلاته في نية الاقتداء لم تجز له متابعته الا ان ينوى الآن المتابعة وحيث قلنا بجواز الاقتداء في أثناء الصلاة لان الاصل عدم النية فان تذكر انه كان نوى قال القاضى حسين والمتولي وغيرهما حكمه حكم من شك في نية أصل الصلاة فان تذكر قبل ان يفعل فعلا علي خلاف متابعة الامام وهو شاك لم يضره وان تذكر بعد أن فعل فعلا على متابعته في الشك بطلت صلاته إذا قلنا بالاصح ان المنفرد تبطل صلاته بالمتابعة لانه في حال شكه له حكم المنفرد وليس له المتابعة حتى قال أصحابنا لو عرض له هذا الشك في التشهد الاخير لا يجوز ان يقف سلامه على سلام الامام اما إذا اقتدى بامام فسلم من صلاته ثم شك هل كان نوى الاقتداء فلا شئ عليه وصلاته ماضية علي الصحة هذا هو المذهب وذكر القاضى حسين في تعليقه ان فيه الخلاف السابق فيمن شك بعد فراغه من الصلاة هل ترك ركنا من صلاته ام لا وهذا ضعيف والله أعلم *
Posted by Uswah On 11:15 AM No comments READ FULL POST
saya ingin bertanya : masalah harta warisan dan gono gini
Orang tua saya menikah tahun 1960. pada tahun 1970 ayah dari ibu saya meninggal dan ibu saya mendapatkan warisan sebuah rumah. kemudian pada tahun 1990 ayah saya meninggal dunia dengan meninggalkan beberapa putra putri. pertanyaan saya :
a. setelah ayah saya meninggal apakah rumah tersebut sepenuhnya menjadi hak ibu saya,  atau menjadi harta warisan untuk seluruh keluarga.
b. apakah harta warisan yang didapatkan seorang istri (dari ayahnya) setelah menikah termasuk harta gono-gini, dan apakah semua harta gono gini merupakan harta warisan seluruh keluarga
c. bagaimana definisi dan batasan harta gono gini secara syariat

JAWABAN:

Kepemilikan harta dalam rumah tangga tidak lepas dari 3 (tiga) kategori berikut :
Pertamaharta milik suami saja, yaitu harta yang dimiliki oleh suami tanpa kepemilikan isteri pada harta itu. Misalnya harta yang diperoleh dari hasil kerja suami dan tidak diberikan sebagai nafkah kepada isterinya, atau harta yang dihibahkan oleh orang lain kepada suami secara khusus, atau harta yang diwariskan kepada suami, dan sebagainya.

Keduaharta milik isteri saja, yaitu harta yang dimiliki oleh isteri saja tanpa kepemilikan suami pada harta itu. Misalnya harta hasil kerja yang diperoleh dari hasil kerja isteri, atau harta yang dihibahkan oleh orang lain khusus untuk isteri, atau harta yang diwariskan kepada isteri, dan lain-lain.

Ketiga, harta milik bersama suami isteri. Misalnya harta yang dihibahkan oleh seseorang kepada suami isteri, atau harta benda semisal rumah, tanah atau lainnya yang dibeli dari uang mereka berdua (patungan), dan sebagainya.
Harta kategori ketiga inilah yang disebut dengan istilah harta gono gini, yaitu harta milik bersama suami isteri ketika suami isteri itu bercerai atau salah satunya meninggal dunia.

Dalam pembagian harta gono gini, jika bisa diketahui prosentase kepemilikan dari suami dan istri seperti 70 % milik suami dan 30 % milik istri karena setiap pembelian barang dari harta mereka berdua dengan prosentase seperti itu, maka hak dari keduanya sesuai prosentase tersebut. Namun jika tidak diketahui prosentase kepemilikan setiap dari keduanya, maka dalam pembagiannya dengan  ash-shulhu (perdamaian) yaitu pembagian hak sesuai dengan kesepakatan antara suami istri atas dasar saling ridha. Misalnya dengan membagi sama rata, suami 50 % dan istri 50 % atau suami 60 % dan istri 40 % sesuai dengan kesepakatan diantara keduanya.
Dalil disyari’atkannya shuluh adalah hadits riwayat ‘Amr bin ‘Auf :

الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ، إلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً، أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

”Perdamaian adalah boleh di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal dan perdamaian yang menghalalkan yang haram, dan kaum muslimin [bertindak] sesuai syarat-syarat di antara mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal dan syarat yang menghalalkan yang haram.” (HR Abu  Daud)

Adapun pembagian dalam hukum dalam Peradilan Agama, dimana harta gono gini dibagikan secara merata antara suami isteri adalah sebagai bentuk shuluh di antara keduanya, yang sifatnya tidak wajib melainkan disesuaikan dengan kesepakatan dari kedua suami istri.
Oleh karena itu, jika kepemilikan rumah itu hanya milik Ibu yang didapat dari warisan orang tuanya, maka bukan termasuk harta gono-gini sehingga tetap menjadi milik ibu dan tidak menjadi harta warisan yang harus dibagi ketika ayah meninggal, kecuali jika si ibu telah meninggal. Namun jika sebagian dari rumah itu ada kepemilikan ayah, maka prosentase dari kepemilikan ayah yang telah meninggal menjadi harta waris yang dibagi sesuai dengan aturan dalam warisan, sedangkan sisanya tetap milik ibu dan bukan harta waris.

Referensi : 
Qurratul ‘Ain fatawa Syekh Isma’il Zein al Yamani hal. 233-234
Qurratul ‘Ain fatawa Syekh Sulaiman al-Kurdi ha 232
Bughyatul Mustarsyidin hal 159

قرة العين يفتاوى الشيخ اسماعيل زين اليمني/ 233 – 234
يقول شيخنا : ذكرتم عادة اهل بلدكم انهم قبل ان يقسموا تركة الميت يجعلون المال نصفين مثلا بين الزوج والزوجة ويسمون “كونا كيني” اي مما حصل لهما في حياتهما من الحرفة والصناعة فتعطى الزوجة تولا نصف التركة قبل القسمة ثم يقسم ياقيها على الورثة.
فالجواب : انه اذا ثبت إشتراك الزوجين في التعايش والإسترزاق كما هو شائع في اهل بلدكم وقد بلغنا ان الزوجة قد تكون اكثر تحصيلا للرزق واكثر عملا من الزوج في طلب الرزق غالبا. فحينئذ اذا لم يكن ما يخص كلا من الزوجين متميزا بل بينهما شيوع في الإشتراك فالقسمة المذكورة حينئذ تكون في حكم الصلح وهي صحيحة اذا صدرت من الورثة البالغين العقلاء والزوجة كذلك رشيدة. اما اذا كان فيهم قاصر فلا يصح ذلك بالنصبة لنصيبه الا بحكم حاكم تقام عنده دعوى على ولي القاصر. ويجري الصلح حينئذ من وليهان رآه مصلحة وأثبتت الزوجة الإشتراك في التركة. وقد ذكر المسألة مفصلة الشيخ العلامة محمد بن سليمان الكردي المدني الشافعي في فتاويه المسماة قرة العين بفتاوى علماء الحرمين صـ 232 فانظر ذلك فان فيه المقصود وزيادة.

قرة العين بفتاوى علماء الحرمين للشيخ محمد بن سليمان الطكردي /232 – 235
(سئل) رحمه الله تعالى اذا اختلط مال الزوج والزوجة ولم يعلم هل الأكثر له او لها والحال ان المال غير متميز لأحدهما لأن الأغلب في بلاد جاوى ان الرجال والنساء سواء في الإكتساب والمتحصل من كسبهما مختلط، فاذا مات احد الزوجين او حصلت الفرقة بينهما ، فكيف الحالهل يقسم بينهما بالسوية او للذكر مثل حظ الأنثيين او كيف الحال ؟
(الجواب) ان ترفع معرفة ما لكل من الزوجين توقف عن التصرف في شيئ من المتاع الذكور الى ان يتبين الحال، وان ايس من معرفة ذلك اتى فيما يظهر ما ذكره ائمتنا في الفرائض حيث قالوا والعبارة للتحفة  ”ولو مات الخنثى في مدة الوقف -اي عن قسمة الإرث ليتبين انه ذكر او انثى- والورثة غير الأولين أو اختلف إرثهم لم يبق إلا الصلح ويجوز من الكمل في حق أنفسهم على تفاوت اوتساو اوإسقاط بعضهم ولا بد من لفظ صلح أو تواهب واغتفر مع الجهل للضرورة انتهت. وعبارة الروضة فيما اذا اسلم على أكثر من أربع وأسلمن بعده او معه في العدة أو كن كتابيات وجب عليه الإختيار والتعيين. نصها فرع : مات قبل التعيين وقف لهن ربع ماله أو ثمنه عائلا أو بحسب الحال إلى أن يصطلحن فيقسم بينهن بحسب اصطلاحهن بالتساوي أو التفاضل – ثم قال- فإن كن ثمانيا وفيهن صغيرة أو مجنونة صالح عنها وليها وليس له المصالحة على أقل من ثمن الموقوف وله المصالحة على الثمن على الأصح وقيل لا يصالح على أقل من الربع ثم المصالحة إذا اصطلحن كلهن فلو طلب بعضهن شيئاً بلا صلح لم يدفع إلى المطالبة شيئاً إلا باليقين ففي ثمان نسوة لو طلب أربع منهن لم نعطهن فإن طلب خمس أعطيناهن ربع الموقوف وإن طلب ست فنصفه وسبع ثلاثة أرباعه ولهن قسمة ما أخذن والتصرف فيه وهل يشترط في الدفع أن يبرئن عن الباقي وجهان أحدهما نعم ونسبه ابن كج إلى النص لتنقطع الخصومة وأصحهما لا ، فعلى الأول يعطى الباقي للثلاث ويرتفع الوقف وكأنهن اصطلحن على القسمة الى آخر ما في الروضة فحينئذ يأتي ذلك في مسألتنا فيصطلح الزوج والزوجة اذا افترق وارث الميت مع الآخر او وارثاهما ان ماتا بلفظ الصلح او تواهب ويصح مع تفاوت او تساو حيث كانوا كاملين والا فلا ينقص في الصلح عن القاصر عن النصف لأن له اليد حيث كان هو احد الطرفين والا فقسطه، نعم الأولى التساوي فيما يظهر وان لم أقف على من نبه عليه لأن المال في يد كل من الزوجة والزوج او وارثيهما او وارث احدهما مع الآخر ولا مزية لأحدهما على الآخر ، فان جرت العادة المطردة بأن احدهما يكسب أكثر من الآخر كان الصلح او التواهب على نحو ذلك في القسمة اولى لأنه أقرب في وصول كل منهما الى قدر حقه . وايضا فقد صرح أئمتنا بأنه لو جهلت مقادير معالم وظائف الوقف او مستحقيه اتبع ناظره عادة من تقدمه، فان لم تعرف لهم عادة سوى بينهم الا ان تطرد العادة الغالبة بتفاوت بينهم فيجتهد في التفاوت بينهم بالنسبة اليها اهـ والعبارة للتحفة : فان تشاحوا ولم يتفقوا على شيئ مما ذكر فمن كان منهم واضع اليد على شيئ من ذلك المال فالقول قوله فيه بيمينه انه ملكه ، فان كان المال في ايديهما معا او ليس في ايديهما فلكل منهما تحليف الآخر على دعواه فاذا حلف كذلك قسم المال بينهما نصفين كما نص عليه امامنا الشافعي في الأم وتبعه أئمة مذهبه وعبارتع الخ وعبارة التحفة في الدعاوي فرع الخ واما التصرف قبل ان يفعلوا شيئا مما ذكره الذي يظهر لي انه يجري فيه ما ذكره في اختلاط حمام احد الزوجين بالآخر . وحاصل ما في النهاية والتحفة في ذلك فان اختلط حمام احد الزوحين بالآخر او حمام كل منهما بالآخر وعسر التمييز لم يصح بيع احدهما وهبته ونحوهما من سائر التمليكات شيئا منه او كله لثالث ويجوز لأحدهما ان يملك ما له لصاحبه وان جهل كل عين ملكه للضرورة . فان باعاهما لثالث وكل لا يدري عين ماله والعدد معلوم لهما والقيمة سواء صح البيع ووزع الثمن على اعدادهما ويحتمل الجهالة في المبيع للضرورة والا بأن جهلا او احدهما العدد او تفاوتت القيمة فلا يصح لأن كلا يجهل ما يستحقه من الثمن. نعم ان قال بعتك الحمام الذي في هذا بكذا صح لعلم الثمن ويحتمل جهالة المبيع للضرورة . ولو وكل احدهما صاحبه فباع للثالث كذلك، فان بين ثمن نفسه وثمن موكله صح ايضا اهـ من حاصلهما هذا ما يظهر لي في صورة السؤال وجوابه وهو كما تراه ظاهر مأخوذ من كلام أئمتنا والله أعلم.

بغية المسترشدين / 159
(مسألة ك) اختلط مال الزوجين ولم يعلم لأيهما أكثر ولا قرينة تميز احدهما او حصلت بينهما فرقة او موت لم يصح لأحدهما ولا وارثه تصرف في شيئ منه قبل التمييز او الصلح الا مع صاحبه اذ لا مرجح كما قالوا لو اختلط حمامهما وحينئذ فان امكن معرفتهما والا وقف الأمر حتى يصطلح الزوجين او ورثتهما بلفظ صلح او تواهب بتساو او تفاوت ان كانوا كاملين ويجب ان لا ينقص عن النصف في المحجور ، نعم ان جرت العادة المطردة بان أحدهما يكسب أكثر من الآخر كان الصلح والتواهب على نحو ذلك فان لم يتفقوا على شيئ من ذلك فمن بيده شيئ من المال فالقول قوله بيمينه انه ملكه ، فان كان بيدهما فلكل تحليف الآخر ثم يقسم نصفين
Posted by Uswah On 11:14 AM No comments READ FULL POST
  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube