Wanita
boleh saja bekerja, berkarir, dengan catatan memenuhi tiga hal. Tidak
keluar dari adab-adab, moral dan ajaran Islam, bekerja sesuai dengan
gendernya sebagai wanita, dan tidak melupakan kewajiban aslinya sebagai
ibu dalam sebuah rumah tangga.
Namun hal ini bisa menjadi tidak
terpenuhi saat seorang wanita memutuskan bekerja (atau memang atas
dorongan suaminya, atau hal lain semisal kebutuhan mendesak mencari
nafkah) ke luar negeri. Menjadi tenaga kerja wanita.
Maka
artinya adalah tentu saja dia meninggalkan rumahnya, dan meninggalkan
kewajiban mendidik anaknya (jika telah mempunyai anak dan dia tinggal).
Dilema sekali memang permasalahan bekerja menjadi seorang TKW ke luar
negeri, terjadi banyak pro kontra, bahkan merambah pada ranah hukum
fiqih, bagaimana hukum menjadi TKW?
Tentu saja terjadi
perbedaan pendapat di sana, sebab hal ini berhubung langsung dengan
bepergian wanita seorang diri yang dalam syariat kita diatur sedemikian
rupa.
Syariat menyatakan (terutama dalam ibadah haji, yang
kemudian dikembangkan menjadi kepada bepergian wanita secara umum ke
mana saja) bahwa wanita tidak bisa mengadakan perjalanan jauh seorang
diri kecuali jika ditemani oleh mahramnya/suaminya, atau bepergian
dengan rombongan wanita banyak yang bisa dipercaya, dalam hal ini
termasuk agen perjalanan yang bisa menjamin keamanan wanita tersebut.
(Dalam sistem pesantren pada umumnya, hal ini dipraktekkan dengan
prosedur kepulangan dan kedatangan santri putri, bahwa santri putri
tidak diperkenankan pulang kecuali jika dijemput keluarganya, atau
pulang bersama-sama teman sesama ceweknya. Pesantren tidak membolehkan
santri putrinya mengadakan perjalanan jauh atau keluar area pesantren
seorang diri)
Maka, selain dua pesyaratan ini, wanita tidak
diperkenankan melakukan perjalanan jauh sendirian. Memang ada yang
membantah, bukankah sekarang semuanya sudah aman? Ada petugas keamanan
di setiap tempat, ada peralatan telekomunikasi yang canggih, jadi tak
ada lagi alasan melarang wanita bepergian.
Oke, bisa jadi
argumen itu sangat logis, akan tetapi peraturan syariah tetaplah sebuah
peraturan, andai alasan pelarangannya itu terhapuskan, maka ketundukan
terhadap syariah sebagai ibadah dan bentuk ketakwaan masih tetap dan
tidak terangkat.
Alhasil terjadi argumen hebat antara yang
membolehkan bekerja di luar negeri dan yang tidak memperbolehkan.
Apalagi kejadian di beberapa negara yang kerap kali memakan korban TKW,
mulai dari tidak diberikan hak-haknya, diperlakukan secara tidak
manusiawi, dilecehkan, diperkosa bahkan sampai dibunuh setelah dirampok
dan dikuras habis hasil kerja kerasnya untuk kemudian dibuang jenazahnya
di samping kotak sampah, yang makin memperkuat argumen kubu yang
mengharamkan wanita bekerja ke luar negeri.
Lepas dari semua
itu, jika keadaan darurat, semisal tidak ada yang menafkahinya, maka
tentu saja menjadi hal lain, sebab kaidah menyatakan bahwa hal-hal
darurat bisa membolehkan sesuatu yang asalnya dilarang, dengan berbagai
catatan.
Namun bagaimanapun, keluar dari pembahasan melalui
sudut pandang fiqih atau sudut pandang sosial soal ketidakterjaminan
keamanan bekerja di negeri orang, fenomena wanita bekerja jauh ke luar
negeri harus diakui tetap banyak menimbulkan masalah, terutama dalam
sistem rumah tangga, meski suami menyetujui sekalipun.
Sebab
suami -dan aku sangat yakin sekali- tidak akan bisa sepenuhnya
menggantikan tugas istri (yang memang oleh Allah telah diciptakan dengan
fungsi masing-masing). Hal inilah yang menyebabkan timpangnya biduk
rumah tangga. Rasa kasih sayang seorang ayah pada anak, dalam tatacara
pengungkapannya, perhatiannya, tentu saja berbeda sekali dengan seorang
ibu. Walau sang ayah masaknya sekelas koki hotel bintang lima sekalipun.
Atau andai si anak dititipkan pada neneknya, bibinya, atau siapapun
tetap berbeda, sebab hal ini berhubungan langsung dengan ikatan
emosional anak pada ibu sejak masih dalam kandungan.
Maka,
melihat segala jenis efek negatif jangka panjang dan ketidakjelasan masa
depan dari sudut manapun, alangkah baiknya jika seorang wanita itu
bekerja tidak jauh dari rumahnya. Sehingga memungkinkannya untuk tetap
memantau secara langsung terhadap anak-anaknya dengan mata kepala
sendiri.
Kesimpulannya, jika memang terdesak tak ada pilihan
kerja lain kecuali menjadi TKW, maka harus mempertimbangkan segalanya
dengan matang, dan yang terpenting ada jaminan keamanan (sesuatu yang
kerap kali jebol dilanggar). Sebab keselamatan jiwa, kehormatan, adalah
prioritas utama dari syariah. Hilangnya unsur ini, bisa mengharamkan
profesi tersebut secara individual. Yang akhirnya membuat pekerjaannya
sekaligus penghasilannya tidak berkah.
Maka jika tak ada
pilihan lain kecuali menjadi TKW, sebaiknya sekalian pergi dengan
suaminya atau keluarganya (syukur-syukur anaknya dibawa juga), atau
berada dalam agen yang mempunyai jaminan keamanan yang bisa
dipertanggungjawabkan (semisal agen formal yang biasa mengirim perawat
dan tenaga medis ke luar negeri).
Akhir catatan, kita harus
arif mensikapi hidup yang makin hari ternyata semakin membingungkan,
jika kita tidak punya bekal keimanan yang benar-benar kuat. Mengutip
kata-kata abadi seorang puteri asal Andalusia, Spanyol (abad 5
Hijriyah), permaisuri dari Khalifah Hisyam Abdurrahman al-Umawi, Aurora
Subh Al-Bisykansiah, bahwa hidup seluruhnya adalah berbahaya, al-hayat
kulluha khathar, mesti berhati-hati dalam melangkah. Wallahu a'lam
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Ajukan Pertanyaan atau Tanggapan Anda, Insya Allah Segera Kami Balas