“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu (Muhammad) ceritakan“. (Ad-Dhuhaa: 11)
Tahadduts bin ni’mah
merupakan istilah yang sudah lazim dipakai untuk menggambarkan
kebahagiaan seseorang atas kenikmatan yang diraihnya. Atas anugerah itu
ia perlu menceritakan atau menyebut-nyebut dan memberitahukannya kepada
orang lain sebagai implementasi rasa syukur yang mendalam. Perintah
untuk menceritakan dan menyebut-nyebut kenikmatan pada ayat di atas,
pertama kali memang ditujukan khusus untuk Rasulullah saw. Namun,
perintah dalam ayat ini tetap berlaku umum berdasarkan kaedah:
“amrun
lir Rasul Amrun li Ummatihi” (perintah yang ditujukan kepada
Rasulullah, juga perintah yang berlaku untuk umatnya secara prioritas).
Ibnu Katsir mengemukakan dalam kitab tafsirnya, berdasarkan korelasi ayat per ayat dalam surah Ad-dhuha,
“Bukankah
Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia
mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberimu petunjuk.
Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan
kecukupan. Oleh karena itu, siarkanlah segala jenis kenikmatan tersebut
dengan memujinya, mensyukurinya, menyebutnya, dan menceritakannya
sebagai bentuk i’tiraf (pengakuan) atas seluruh nikmat tersebut.”
Para
ulama tafsir sepakat bahwa pembicaraan ayat ini dalam konteks
mensyukuri nikmat yang lebih tinggi dalam bentuk sikap dan
implementasinya. Az-Zamakhsyari, misalnya, memahami tahadduts bin ni’mah dalam arti mensyukuri segala nikmat yang dianugerahkan oleh Allah dan menyiarkannya. Lebih luas lagi Abu Su’ud menyebutkan, tahadduts bin ni’mah berarti mensyukuri nikmat, menyebarkannya, menampakkan nikmat, dan memberitahukannya kepada orang lain.
Dalam
konteks itu, Ibnul Qayyim dalam bukunya Madrijus Salikin mengemukakan
korelasi makna antara memuji dan menyebut nikmat. Menurut beliau, memuji pemberi nikmat bisa dibagikan dalam dua bentuk: memuji secara umum dan memuji secara khusus.
Memuji secara umum adalah dengan memuji sang pemberi nikmat sebagai
yang dermawan, baik dan luas pemberiannya. Sedangkan memuji yang
bersifat khusus adalah dengan memberitahukan dan menceritakan kenikmatan
tersebut. Sehingga tahadduts bin ni’mat merupakan bentuk tertinggi dari
memuji Allah Zat Pemberi nikmat.
Berdasarkan makna ayat di atas, mayoritas
ulama salaf menganjurkan agar memberitahukan kebaikan yang dilakukan
oleh seseorang jika ia mampu menghindarkan diri dari sifat riya’ dan
agar bisa dijadikan contoh oleh orang lain. Sehingga secara hukum, tahadduts bin ni’mah dapat dibagi kepada dua kategori:
1. jika terhindar dari fitnah riya’, ujub, dan
2.
tidak akan memunculkan kedengkian pada orang lain, maka sangat
dianjurkan untuk menyebut dan menceritakan kenikmatan yang diterima oleh
seseorang.
Namun, jika
dikhawatirkan akan menimbulkan rasa dengki, dan untuk menghindarkan
kerusakan akibat kedengkian dan tipu muslihat orang lain, maka
menyembunyikan nikmat dalam hal ini bukan termasuk sikap kufur nikmat.
Lebih tegas Imam Asy-Syaukani berpendapat bahwa tahadduts bin ni’mah bukan termasuk bagian dari tafaakhur (berbangga-bangga) maupun takabbur yang sangat dibenci oleh Allah swt. seperti dalam firmanNya yang artinya kurang lebih demikian: “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”. (Luqman: 18)
Tahadduts
bin ni’mah dalam konteks yang lebih luas, tidak hanya atas kenikmatan
materi yang diterima seseorang. Atas kesungguhan beribadah dan taufiq
untuk menjalankan amal shalih juga layak dan tidak ada salahnya untuk
diceritakan dan diberitahukan kepada orang lain. Ini sebagai sebuah
ungkapan rasa syukur dan agar bisa ditiru serta dijadikan contoh. Namun,
tentu kepada mereka yang diharapkan mengikuti kebaikan dan amal shalih
tersebut.
Al-Hasan bin Ali mengemukakan pernyataannya
tentang hal itu, “Jika engkau mendapatkan kebaikan atau melakukan
kebaikan, maka sebutlah dan ceritakanlah di depan saudaramu yang kamu
percayai bahwa ia akan mengikuti jejak yang baik tersebut.” Kebiasaan
seperti ini pernah dilakukan oleh Abu Firas, Abdullah bin Ghalib,
seperti yang dituturkan oleh Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya, “Setiap
kali aku bangun pagi, aku biasa menyebut amal yang aku lakukan di malam
hari; aku sholat sekian, berdzikir sekian, membaca Al-Qur’an sekian dan
sebagainya.” Ketika para sahabatnya mempertanyakan yang dilakukan oleh
Abu Firas termasuk dalam kategori riya’, dengan tenang ia menjawab,
“Allah memerintahkan dalam ayat-Nya untuk menceritakan kenikmatan,
sedangkan kalian melarang untuk menyebut kenikmatan?”
Di
sini sangat jelas bahwa tahadduts bin ni’mah merupakan salah satu
kendali agar tidak terjerumus ke dalam kelompok yang dikecam oleh Allah
karena menyembunyikan nikmat dan mengingkarinya serta tidak mengakui
anugerah tersebut berasal dari Allah swt. Allah berfirman yang artinya
kurang lebih demikian: “Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir.” (An-Nahl: 83).
Tentang
penduduk Negeri Saba’ yang ingkar dan enggan mensyukuri nikmat, Allah
menggambarkan akhir kehidupan mereka yang mendapat azab. “Sesungguhnya
bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka,
yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada
mereka dikatakan): Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan)
Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang
baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun. Tetapi mereka
berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami
ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon)
yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr. Demikianlah
Kami memberi balasan kepada mereka karena kekafiran mereka. Dan Kami
tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu), melainkan hanya kepada
orang-orang yang sangat kafir.” (TQS. Saba’: 15-17)
Dalam
beberapa hadits Rasulullah dinyatakan bahwa Tahadduts dengan kenikmatan
yang diraih merupakan salah satu dari impelemtasi syukur seorang hamba
kepada Sang Pemberi nikmat, yaitu Allah. Dalam hal ini, At-Tirmidzi
menukil sebuah hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah bahwa ia
berkata, “Barangsiapa yang diberi kebaikan (kenikmatan), hendaklah ia
membalasnya; Jika ia tidak punya sesuatu untuk membalasnya, hendaklah ia
memuji pemberinya. Karena sesungguhnya apabila ia memuji berarti ia
telah mensyukuri dan berterima kasih kepadanya. Akantetapi, jika ia
menyembunyikannya, berarti ia telah mengingkari kebaikannya.” Dalam
hadits lain dijelaskan masing-masing bentuk implementasi syukur secara
lebih terperinci:
عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ
:قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ
مَنْ لَمْ يَشْكُرْ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرْ الْكَثِيرَ وَمَنْ لَمْ
يَشْكُرْ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرْ اللَّهَ التَّحَدُّثُ بِنِعْمَةِ اللَّهِ
شُكْرٌ وَتَرْكُهَا كُفْرٌ وَالْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ
Dari
An-Nu’man bin Basyir berkata, “Rasulullah saw. berkhutbah di atas
mimbar menyampaikan sabdanya artinya kurang lebih demikian: ‘Barangsiapa
tidak mensyukuri yang sedikit, berarti tidak bisa mensyukuri yang
banyak. Barangsiapa tidak berterima kasih kepada manusia, berarti ia
tidak bersyukur kepada Allah. Sesungguhnya menyebut-nyebut nikmat Allah
adalah bersyukur dan meninggalkannya adalah kufur. Bersatu akan membawa
rahmat dan bercerai-berai akan mendatangkan adzab’.” (Musnad Imam Ahmad, no. 17721)
Adalah
anugerah Allah jika kita diberi kemampuan dan taufiq untuk senantiasa
mensyukuri segala nikmatNya. Al-Hasan Al-Basri pernah berpesan,
“Perbanyaklah oleh kalian menyebut-nyebut nikmat, karena sesungguhnya
menyebut-nyebutnya sama dengan mensyukurinya.” Memang memperlihatkan
kenikmatan merupakan sesuatu yang sangat dipuji oleh Allah karena Allah
sangat cinta kepada hambaNya yang diberi nikmat lantas ia menampakkan
atau memperlihatkan nikmat tersebut dalam sikap atau penampilan.
Rasulullah
pernah menegur seorang sahabat yang berpenampilan jauh dan bertentangan
dengan kenikmatan yang diterimanya. Seperti yang dikisahkan oleh Imam
Al-Baihaqi bahwa salah seorang sahabat pernah datang menemui Rasulullah
saw. dengan berpakaian lusuh dan kumal serta berpenampilan yang membuat
sedih orang yang memandangnya. Melihat keadaan demikian, Rasulullah
bertanya, “Apakah kamu memiliki harta?” Sahabat tersebut menjawab, “Ya,
Alhamdulillah, Allah melimpahkan harta yang cukup kepadaku.” Maka
Rasulullah berpesan, “Perlihatkanlah nikmat Allah tersebut dalam
penampilanmu.” (Syu’abul Iman, Al-Baihaqi)
Mudah-mudahan
kenikmatan yang semakin banyak mengalir mewarnai kehidupan kita, mampu
kita jadikan sebagai modal untuk memperkuat dan memperbaiki semangat
pengabdian kita kepada Allah dalam bentuk amal sholeh yang diridhoiNya.
Tahadduts bin ni’mah yang kita lakukan semata untuk mendapatkan
perhatian Allah, bukan perhatian dan pujian dari manusia. Namun begitu,
harapan dari tahadduts bin ni’mah tersebut semoga akan bisa
membangkitkan semangat orang lain untuk sama-sama menghadirkan kebaikan
dan kemaslahatan pada bangsa tercinta ini.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Ajukan Pertanyaan atau Tanggapan Anda, Insya Allah Segera Kami Balas